Rabu, 17 Juni 2009 | 08:58 WIB
KOMPAS.com — Krisis keuangan global sudah berdampak terhadap APBN. Pada November 2008, pemerintah dan DPR masih optimistis bisa membelanjakan Rp 1.037,1 triliun dalam APBN 2009. Namun, optimisme itu tinggal kenangan. Awal 2009, Indonesia didera krisis yang membuat pemerintah tidak mungkin ekspansif.
Krisis keuangan global memang tidak langsung menusuk ke APBN, tetapi menekan pelaku usaha, dengan turunnya permintaan ekspor terhadap produk mereka.
Hal tersebut berdampak langsung pada penerimaan pajak, terutama pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPN), sehingga berdampak pada APBN 2009.
Pemerintah memperkirakan penerimaan dari pajak pada 2009 turun Rp 64,1 triliun. Ini karena ekspor, sebagai salah satu faktor pendorong pertumbuhan ekonomi, pertumbuhannya minus 19 persen pada triwulan I-2009 sehingga obyek pajak pun ikut merosot.
Pendapatan negara akan turun Rp 137,2 triliun, dari target APBN 2009, sebesar Rp 985,7 triliun, yaitu hanya mencapai Rp 848,6 triliun. Penerimaan negara bukan pajak (PNBP) pun turun Rp 73,1 triliun.
Dengan penerimaan yang merosot tentu tidak bijaksana jika pemerintah bersikeras tetap membelanjakan uangnya Rp 1.037,1 triliun pada 2009. Jika tetap dilakukan, pemerintah harus berutang lebih besar, dengan ongkos lebih mahal akibat tekanan investor di pasar obligasi.
Dengan demikian, pada 4 Maret 2009, Departemen Keuangan menyampaikan kepada DPR bahwa target belanja negara pada APBN 2009 diubah, yakni dari Rp 1.037,1 triliun menjadi Rp 988,1 triliun, atau terpangkas Rp 49 triliun.
Anggaran yang terpangkas tersebut setara empat kali alokasi dana stimulus fiskal, yang disiapkan untuk menambah proyek infrastruktur, yaitu Rp 12,2 triliun.
Dampaknya, kemampuan APBN menciptakan lapangan kerja bagi 4 juta orang pada tahun ini tidak akan tercapai.
Tahun depan, kemampuan APBN menyuntikkan dana ke sektor riil belum dapat dipastikan akan pulih. Dalam rapat kerja dengan Panitia Anggaran DPR 1 Juni 2009, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebutkan, anggaran belanja negara dalam Rancangan APBN 2010 mencapai Rp 949,1 triliun.
Itu artinya, terpangkas Rp 88 triliun dibanding APBN 2009, atau sekitar 7 kali anggaran stimulus fiskal infrastruktur pada 2009. Kemampuan pemerintah untuk menciptakan lapangan kerja lebih rendah lagi.
Kemampuan pemerintah menghimpun penerimaan pada 2010 sangat terbatas. Target penerimaan negara 2010 paling tinggi Rp 871,9 triliun. Ini jauh lebih rendah dibandingkan target pendapatan negara di APBN 2009, sebesar Rp 985,7 triliun.
Sri Mulyani memprediksi, tahun 2010 masih dibayangi risiko ekonomi sehingga pemerintah tidak bisa terlalu optimistis. Untuk menjaga agar bisa menopang daya beli masyarakat, pemerintah butuh tambahan dana untuk memberikan stimulus.
Jika nilai tukar rupiah terus tertekan, Indonesia akan menghadapi risiko utang yang lebih tinggi sehingga upaya menutup defisit, yang ditargetkan Rp 77,1 triliun, akan lebih berat.
”Harga minyak dan harga komoditas juga penuh ketidakpastian. Lifting (jumlah produksi minyak mentah yang siap dijual) sulit diprediksi. Sekali lifting turun, penerimaan dari migas akan turun,” papar Sri Mulyani.
Tak sekadar uang
Sebenarnya, bukan soal besarnya jumlah uang belanja pemerintah. Namun, bagaimana pengelolaan dana itu semakin transparan dan tertib.
Lima tahun berturut-turut, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memberi opini pemeriksaan ”Tidak Memberikan Pendapat” (disclaimer) pada Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP).
Menurut Ketua BPK Anwar Nasution, LKPP persoalannya sama, yaitu tidak sesuai standar akuntansi pemerintah, lemahnya pengendalian internal, dan tidak patuh pada aturan perundang-undangan.
”Memang ada perbaikan pada beberapa departemen, tetapi sebagian besar belum. Belum ada kesungguhan dan upaya mendasar untuk memperbaiki,” kata Anwar. (Orin Basuki)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar