20100522

Hearing FK LSM Tabalong dengan PT.MSW

Pada Hari/tanggal Rabu12 Mei 2010 Jam10.30 s/d 13.30 WITA di Aula Bapedala dimediasi oleh BAPEDALDA (H. Muchtar). PLTU PT. MSW dihadiri oleh Eddy Prianto, Said Makhmudin, Nina, rudy, rusman; dan dari Forum Komunikasi LSM Tabalong Akhmad Rusmadi(FKPMT), M. Safi’i(Forum Komunikasi Masyarakat Tabalong), Ferlin Adi(RAJAWALI), Hassan Kartulu(PELITA), Herni(PEMPEL), Erwan Susandi(LangsaT) dan Erwansyah(H.A.K)

H. Muchtar dari BAPEDALDA sebagai fasilitator Pembuka pertemuan antara Forum Komunikasi LSM Tabalong dan PT. MSW tentang keberadaan PLTU PT. MSW.

Dilanjut oleh Eddy Prianto (Pihak PT. MSW) menjelaskan PT. MSW Sekarang baru Tahap awal pekerjaan sipil, Permasalahan Lahan saat ini ditangani oleh pemda dengan masyarakat, PT. MSW hanya pembiayan tali asih, Tenaga Kerja mempunyai kontraktor dan sub kontraktor. Ring 1 adalah Tabalong, Ring 2 Kalsel dan Ring 3 adalah Kalimantan, ring 4 luar Kalimantan, PT. MSW akhir 2010 akan beroperasi, Penelitian dilakukan oleh unlam dan dampak sampai 3 km, dan penelitian dampak dilakukan selalu sambil berjalan.

A. Rusmadi Fasilitator Forum Komunikasi LSM Tabalong pun membuka pembicaraan dengan mengenalkan satu persatu yang hadir dan beberapa yang tidak bisa hadir karena ada kegiatan diluar daerah. Menurut kami tidak ada kolerasi dengan pansus DPRD, Ada isu PLTU katanya untuk mengatasi masalah listrik di Tabalong, Pernyataan Bupati berbeda tentang kapasitas diberikan listrik (awal 0,717 MW) dan tentang Dampak tidak sesuai manfaat hasil telaahan Forum LSM Tabalong.

Erwansyah dari LSM Habitat Alam Kalimantan meminta Jabaran PT. MSW lebih rinci dan jelas, Klarifikasi dan publikasi keberadaan PT. MSW secara luas agar dapat di akses secara terbuka termasuk azas manfaat keberadaanya, Jaminan tenaga kerja dan Public hearing tim pemda.

Herni pun menanyakan tentang permasalahan Lahan yang dianggap belum selesai dan bagaimana menurut MSW kalau ternyata pada saat beroperasi permasalahan lahan belum selesai.

Ferlin adi dari RAJAWALI mempertanyakan juga Hak Pinjam Lahan yang digunakan PT. MSW terdapat sertifikat bagaimana menurut MSW, kenapa PLTU oleh PT. MSW ini dibangun disekitar atau berdekatan pemukiman penduduk padahal ada lahan-lahan kosong sebekas pertambangan dan jaminan keamanan dari dampak lingkungan.

Erwan Susandi dari Langkah Menuju Sejahtera Tabalong (LangsaT) minta kejelasana antara lain Jamin ekonomi, social dan budaya; Metode penelitian simple survey sebelum dilaksanakan kegiatan PT. MSW dan kejelasan CFB sebagai jaminan emesi buang yang aman dari ketinggian cerobong 88 meter. Mengharapkan tentang porsi Tenaga Kerja orang Tabalong 40%, dari Banua Anam 20%, dari kalsel 10%, dari regional Kalimantan 10% dan luar Kalimantan 20% berdasarkan Akta kelahiran bukan KTP. Mengharapkan juga diameter 1km dari berdirinya MSW mendapatkan konfensasi rekening listrik standar perumahan dan gratis tempat/pasilitas umum.

M. Safi’I angkat bicara tentang Tali asih syarat musyawarah termasuk harga lahan, Listrik free 1,5 mw kenyataan bukan 2 mega watt dan Libatkan LSM utk mengatasi masalah-masalah pada pra, berjalan kegiatan MSW.

Melalui Eddy, Said dan Denny PT. MSW menanggapi pertanyaan dan pernyataan dari Forum Komunikasi Tabalong antara lain:

1.Kejelasan diberikan dan kapasitas sumbangan PT. MSW
Memang awalnya PT MSW mencanangkan 0,717 mw dan meningkat menjadi 1,5 mw dengan tekhnis disampaikan kepada Pemerintahan Daerah Kabupaten Tabalong untuk dikelola memenuhi kebutuhan pasilitas umum termasuk Penerangan Jalan Umum. 5 Mega Watt dikerjasamakan dengan PLN Tanjung dengan harapan kedepan dapat memenuhi sampai 10 Mega Watt. Katanya publiksi keberadaan PT. MSW ada diradio, pengumuman2.

2.Kasus Sengketa Lahan
Permasalahan Lahan adalah tanggungjawab Pemerintah Daerah yang dibentuk oleh mereka dan kami hanya memberikan sejumlah uang untuk konfensasi yang terlanjur menggunakan lahan-lahan tersebut dimaksud dan Apabila kami dilibatkan oleh pemda kami siap.

3.Jaminan Linkungan, Ekonomi, Sosial dan Budaya
Dasar ukuran emisi buang Pp41/2001 dsn UU32 2009. Siap bertanggungjawab dan siap ditutup walau kegiatan berjalan melalui sarana peraturan-peraturan yang berlaku. Dan melalui CFB akan sangat menjamin keamanan yang dirisaukan.

4.Tenaga Kerja
Tentang Tenaga Kerja apabila ada temuan silahkan konfermasi ke kami, Kreteria masuk dalam tali asih/konfensasi PT. MSW tidak mengerti. PLTU dekat dengan lingkungan. Tentang Porsi tenaga kerja dan

5.Lain-lain
-Simple lokasi diambil untuk survey keberadaan MSW di daerah warukin karena arah angin akan mengarah kesana Data tali asih akan kami sampaikan namun kreteria responden dan metode yang digunakan tidak menggerti yang dikerjakan Tim Universitas Lambung Mangkurat.
-fasilitas konfensasi rekening listrik akan di sampaikan ke Pimpinan
-Dan gratis pasilitas umum di diameter 1 km dari perusahaan.
-Dan Kami akan libatkan lsm dan bapedalda dalam menangani permasalah kedepan

20100512

Hearing Forum Komunikasi LSM Tabalong dengan PT.MSW tentang keberadaan PLTU di Tabalong

Pada Hari/tanggal Rabu12 Mei 2010 Jam10.30 s/d 13.30 WITA di Aula Bapedala dimediasi oleh BAPEDALDA (H. Muchtar). PLTU PT. MSW dihadiri oleh Eddy Prianto, Said Makhmudin, Nina, rudy, rusman; dan dari Forum Komunikasi LSM Tabalong Akhmad Rusmadi(FKPMT), M. Safi’i(Forum Komunikasi Masyarakat Tabalong), Ferlin Adi(RAJAWALI), Hassan Kartulu(PELITA), Herni(PEMPEL), Erwan Susandi(LangsaT) dan Erwansyah(H.A.K)

H. Muchtar dari BAPEDALDA sebagai fasilitator Pembuka pertemuan antara Forum Komunikasi LSM Tabalong dan PT. MSW tentang keberadaan PLTU PT. MSW.

Dilanjut oleh Eddy Prianto (Pihak PT. MSW) menjelaskan PT. MSW Sekarang baru Tahap awal pekerjaan sipil, Permasalahan Lahan saat ini ditangani oleh pemda dengan masyarakat, PT. MSW hanya pembiayan tali asih, Tenaga Kerja mempunyai kontraktor dan sub kontraktor. Ring 1 adalah Tabalong, Ring 2 Kalsel dan Ring 3 adalah Kalimantan, ring 4 luar Kalimantan, PT. MSW akhir 2010 akan beroperasi, Penelitian dilakukan oleh unlam dan dampak sampai 3 km, dan penelitian dampak dilakukan selalu sambil berjalan.

A. Rusmadi Fasilitator Forum Komunikasi LSM Tabalong pun membuka pembicaraan dengan mengenalkan satu persatu yang hadir dan beberapa yang tidak bisa hadir karena ada kegiatan diluar daerah. Menurut kami tidak ada kolerasi dengan pansus DPRD, Ada isu PLTU katanya untuk mengatasi masalah listrik di Tabalong, Pernyataan Bupati berbeda tentang kapasitas diberikan listrik (awal 0,717 MW) dan tentang Dampak tidak sesuai manfaat hasil telaahan Forum LSM Tabalong.

Erwansyah dari LSM Habitat Alam Kalimantan meminta Jabaran PT. MSW lebih rinci dan jelas, Klarifikasi dan publikasi keberadaan PT. MSW secara luas agar dapat di akses secara terbuka termasuk azas manfaat keberadaanya, Jaminan tenaga kerja dan Public hearing tim pemda.

Herni pun menanyakan tentang permasalahan Lahan yang dianggap belum selesai dan bagaimana menurut MSW kalau ternyata pada saat beroperasi permasalahan lahan belum selesai.

Ferlin adi dari RAJAWALI mempertanyakan juga Hak Pinjam Lahan yang digunakan PT. MSW terdapat sertifikat bagaimana menurut MSW, kenapa PLTU oleh PT. MSW ini dibangun disekitar atau berdekatan pemukiman penduduk padahal ada lahan-lahan kosong sebekas pertambangan dan jaminan keamanan dari dampak lingkungan.

M. Safi’I angkat bicara tentang Tali asih syarat musyawarah termasuk harga lahan, Listrik free 1,5 mw kenyataan bukan 2 mega watt dan Libatkan LSM utk mengatasi masalah-masalah pada pra, berjalan kegiatan MSW.

Erwan Susandi dari Langkah Menuju Sejahtera Tabalong (LangsaT) walau banyak pertanyaan yang akan dipertanyakan namun pada tahap pertemuan awal ini minta kejelasana antara lain Jamin ekonomi, social dan budaya; Metode penelitian simple survey sebelum dilaksanakan kegiatan PT. MSW dan kejelasan CFB sebagai jaminan emesi buang yang aman dari ketinggian cerobong 88 meter. Mengharapkan tentang porsi Tenaga Kerja orang Tabalong 40%, dari Banua Anam 20%, dari kalsel 10%, dari regional Kalimantan 10% dan luar Kalimantan 20% berdasarkan Akta kelahiran bukan KTP. Mengharapkan juga diameter 1km dari berdirinya MSW mendapatkan konfensasi rekening listrik standar perumahan dan gratis tempat/pasilitas umum.

Melalui Eddy, Said dan Denny PT. MSW menanggapi pertanyaan dan pernyataan dari Forum Komunikasi Tabalong antara lain:

1.Kejelasan diberikan dan kapasitas sumbangan PT. MSW
Memang awalnya PT MSW mencanangkan 0,717 mw dan meningkat menjadi 1,5 mw dengan tekhnis disampaikan kepada Pemerintahan Daerah Kabupaten Tabalong untuk dikelola memenuhi kebutuhan pasilitas umum termasuk Penerangan Jalan Umum. 5 Mega Watt dikerjasamakan dengan PLN Tanjung dengan harapan kedepan dapat memenuhi sampai 10 Mega Watt. Katanya publiksi keberadaan PT. MSW ada diradio, pengumuman2.

2.Kasus Sengketa Lahan
Permasalahan Lahan adalah tanggungjawab Pemerintah Daerah yang dibentuk oleh mereka dan kami hanya memberikan sejumlah uang untuk konfensasi yang terlanjur menggunakan lahan-lahan tersebut dimaksud dan Apabila kami dilibatkan oleh pemda kami siap.

3.Jaminan Linkungan, Ekonomi, Sosial dan Budaya
Dasar ukuran emisi buang Pp41/2001 dsn UU32 2009. Siap bertanggungjawab dan siap ditutup walau kegiatan berjalan melalui sarana peraturan-peraturan yang berlaku. Dan melalui CFB akan sangat menjamin keamanan yang dirisaukan.

4.Tenaga Kerja
Tentang Tenaga Kerja apabila ada temuan silahkan konfermasi ke kami, Kreteria masuk dalam tali asih/konfensasi PT. MSW tidak mengerti. PLTU dekat dengan lingkungan. Tentang Porsi tenaga kerja dan

5.Lain-lain
-Simple lokasi diambil untuk survey keberadaan MSW di daerah warukin karena arah angin akan mengarah kesana Data tali asih akan kami sampaikan namun kreteria responden dan metode yang digunakan tidak menggerti yang dikerjakan Tim Universitas Lambung Mangkurat.
-fasilitas konfensasi rekening listrik akan di sampaikan ke Pimpinan
-Dan gratis pasilitas umum di diameter 1 km dari perusahaan.
-Dan Kami akan libatkan lsm dan bapedalda dalam menangani permasalah kedepan

20100506

Profesionalisme Di Abad Pengetahuan


Kita telah memasuki abad 21 yang dikenal dengan abad pengetahuan. Para peramal masa depan (futurist) mengatakansebagai abad pengetahuan karena pengetahuan akan menjadi landasan utama segala aspek kehidupan (Trilling danHood, 1999). Abad pengetahuan merupakan suatu era dengan tuntutan yang lebih rumit dan menantang.Suatu era dengan spesifikasi tertentu yang sangat besar pengaruhnya terhadap dunia pendidikan dan lapangan kerja.Perubahan-perubahan yang terjadi selain karena perkembangan teknologi yang sangat pesat, juga diakibatkan olehperkembangan yang luar biasa dalam ilmu pengetahuan, psikologi, dan transformasi nilai-nilai budaya. Dampaknyaadalah perubahan cara pandang manusia terhadap manusia, cara pandang terhadap pendidikan, perubahan peranorang tua/guru/dosen, serta perubahan pola hubungan antar mereka.

Trilling dan Hood (1999) mengemukakan bahwa perhatian utama pendidikan di abad 21 adalah untuk mempersiapkanhidup dan kerja bagi masyarakat.Tibalah saatnya menoleh sejenak ke arah pandangan dengan sudut yang luasmengenai peran-peran utama yang akan semakin dimainkan oleh pembelajaran dan pendidikan dalam masyarakat yangberbasis pengetahuan.

Kemerosotan pendidikan kita sudah terasakan selama bertahun-tahun, untuk kesekian kalinya kurikulum ditudingsebagai penyebabnya. Hal ini tercermin dengan adanya upaya mengubah kurikulum mulai kurikulum 1975 digantidengan kurikulum 1984, kemudian diganti lagi dengan kurikulum 1994. Nasanius (1998) mengungkapkan bahwakemerosotan pendidikan bukan diakibatkan oleh kurikulum tetapi oleh kurangnya kemampuan profesionalisme guru dankeengganan belajar siswa. Profesionalisme sebagai penunjang kelancaran guru dalam melaksanakan tugasnya, sangatdipengaruhi oleh dua faktor besar yaitu faktor internal yang meliputi minat dan bakat dan faktor eksternal yaitu berkaitan dengan lingkungan sekitar, sarana prasarana, serta berbagai latihan yang dilakukan guru.(Sumargi, 1996)

Profesionalisme guru dan tenaga kependidikan masih belum memadai utamanya dalam hal bidang keilmuannya.Misalnya guru Biologi dapat mengajar Kimia atau Fisika. Ataupun guru IPS dapat mengajar Bahasa Indonesia. Memangjumlah tenaga pendidik secara kuantitatif sudah cukup banyak, tetapi mutu dan profesionalisme belum sesuai denganharapan. Banyak diantaranya yang tidak berkualitas dan menyampaikan materi yang keliru sehingga mereka tidak ataukurang mampu menyajikan dan menyelenggarakan pendidikan yang benar-benar berkualitas (Dahrin, 2000).
Banyak faktor yang menyebabkan kurang profesionalismenya seorang guru, sehingga pemerintah berupaya agar guruyang tampil di abad pengetahuan adalah guru yang benar-benar profesional yang mampu mengantisipasi tantangan-tantangan dalam dunia pendidikan.

Pendidikan di Abad PengetahuanPara ahli mengatakan bahwa abad 21 merupakan abad pengetahuan karena pengetahuan menjadi landasan utama segala aspek kehidupan. Menurut Naisbit (1995) ada 10 kecenderungan besar yang akan terjadi pada pendidikan diabad 21 yaitu; (1) dari masyarakat industri ke masyarakat informasi, (2) dari teknologi yang dipaksakan ke teknologitinggi, (3) dari ekonomi nasional ke ekonomi dunia, (4) dari perencanaan jangka pendek ke perencanaan jangkapanjang, (5) dari sentralisasi ke desentralisasi, (6) dari bantuan institusional ke bantuan diri, (7) dari demokrasi perwakilan ke demokrasi partisipatoris, (8) dari hierarki-hierarki ke penjaringan, (9) dari utara ke selatan, dan (10) dari atau/atau ke pilihan majemuk.

Berbagai implikasi kecenderungan di atas berdampak terhadap dunia pendidikan yang meliputi aspek kurikulum,manajemen pendidikan, tenaga kependidikan, strategi dan metode pendidikan. Selanjutnya Naisbitt (1995)mengemukakan ada 8 kecenderungan besar di Asia yang ikut mempengaruhi dunia yaitu; (1) dari negara bangsa kejaringan, (2) dari tuntutan eksport ke tuntutan konsumen, (3) dari pengaruh Barat ke cara Asia, (4) dari kontol pemerintahke tuntutan pasar, (5) dari desa ke metropolitan, (6) dari padat karya ke teknologi canggih, (7) dari dominasi kaum pria ke munculnya kaum wanita, (8) dari Barat ke Timur. Kedelapan kecenderungan itu akan mempengaruhi tata nilai dalam berbagai aspek, pola dan gaya hidup masyarakat baik di desa maupun di kota. Pada gilirannya semua itu akan mempengaruhi pola-pola pendidikan yang lebih disukai dengan tuntutan kecenderungan tersebut. Dalam hubungan dengan ini pendidikan ditantang untuk mampu menyiapkan sumber daya manusia yang mampu menghadapi tantangan kecenderungan itu tanpa kehilangan nilai-nilai kepribadian dan budaya bangsanya.

Dengan memperhatikan pendapat Naisbitt di atas, Surya (1998) mengungkapkan bahwa pendidikan di Indonesia di abad 21 mempunyai karakteristik sebagai berikut: (1) Pendidikan nasional mempunyai tiga fungsi dasar yaitu; (a) untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, (b) untuk mempersiapkan tenaga kerja terampil dan ahli yang diperlukan dalam proses industrialisasi, (c) membina dan mengembangkan penguasaan berbagai cabang keahlian ilmu pengetahuan dan teknologi; (2) Sebagai negara kepulauan yang berbeda-beda suku, agama dan bahasa, pendidikan tidak hanya sebagai proses transfer pengetahuan saja, akan tetapi mempunyai fungsi pelestarian kehidupan bangsa dalam suasana persatuan dan kesatuan nasional; (3) Dengan makin meningkatnya hasil pembangunan, mobilitas penduduk akan mempengaruhi corak pendidikan nasional; (4) Perubahan karakteristik keluarga baik fungsi maupun struktur, akanbanyak menuntut akan pentingnya kerja sama berbagai lingkungan pendidikan dan dalam keluarga sebagai intinya.

Nilai-nilai keluarga hendaknya tetap dilestarikan dalam berbagai lingkungan pendidikan; (5) Asas belajar sepanjang hayat harus menjadi landasan utama dalam mewujudkan pendidikan untuk mengimbangi tantangan perkembangan jaman; (6) Penggunaan berbagai inovasi Iptek terutama media elektronik, informatika, dan komunikasi dalam berbagai kegiatan pendidikan, (7) Penyediaan perpustakaan dan sumber-sumber belajar sangat diperlukan dalam menunjang upaya pendidikan dalam pendidikan; (8) Publikasi dan penelitian dalam bidang pendidikan dan bidang lain yang terkait, merupakan suatu kebutuhan nyata bagi pendidikan di abad pengetahuan.

Pendidikan di abad pengetahuan menuntut adanya manajemen pendidikan yang modern dan profesional dengan bernuansa pendidikan. Lembaga-lembaga pendidikan diharapkan mampu mewujudkan peranannya secara efektif dengan keunggulan dalam kepemimpinan, staf, proses belajar mengajar, pengembangan staf, kurikulum, tujuan dan harapan, iklim sekolah, penilaian diri, komunikasi, dan keterlibatan orang tua/masyarakat. Tidak kalah pentingnya adalah sosok penampilan guru yang ditandai dengan keunggulan dalam nasionalisme dan jiwa juang, keimanan dan ketakwaan, penguasaan iptek, etos kerja dan disiplin, profesionalisme, kerjasama dan belajar dengan berbagai disiplin, wawasan masa depan, kepastian karir, dan kesejahteraan lahir batin. Pendidikan mempunyai peranan yang amat strategis untuk mempersiapkan generasi muda yang memiliki keberdayaan dan kecerdasan emosional yang tinggi dan menguasai megaskills yang mantap. Untuk itu, lembaga penidikan dalam berbagai jenis dan jenjang memerlukan pencerahan dan pemberdayaan dalam berbagai aspeknya.
Menurut Makagiansar (1996) memasuki abad 21 pendidikan akan mengalami pergeseran perubahan paradigma yang meliputi pergeseran paradigma: (1) dari belajar terminal ke belajar sepanjang hayat, (2) dari belajar berfokus penguasaan pengetahuan ke belajar holistik, (3) dari citra hubungan guru-murid yang bersifat konfrontatif ke citra hubungan kemitraan, (4) dari pengajar yang menekankan pengetahuan skolastik (akademik) ke penekanan keseimbangan fokus pendidikan nilai, (5) dari kampanye melawan buta aksara ke kampanye melawan buat teknologi, budaya, dan komputer, (6) dari penampilan guru yang terisolasi ke penampilan dalam tim kerja, (7) dari konsentrasi eksklusif pada kompetisi ke orientasi kerja sama. Dengan memperhatikan pendapat ahli tersebut nampak bahwa pendidikan dihadapkan pada tantangan untuk menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas dalam menghadapi berbagai tantangan dan tuntutan yang bersifat kompetitif.

Gambaran Pembelajaran di Abad Pengetahuan Praktek pembelajaran yang terjadi sekarang masih didominasi oleh pola atau paradigma yang banyak dijumpai di abad industri. Pada abad pengetahuan paradigma yang digunakan jauh berbeda dengan pada abad industri. Galbreath (1999) mengemukakan bahwa pendekatan pembelajaran yang digunakan pada abad pengetahuan adalah pendekatan campuran yaitu perpaduan antara pendekatan belajar dari guru, belajar dari siswa lain, dan belajar pada diri sendiri.

Praktek pembelajaran di abad industri dan abad pengetahuan dapat dilihat pada Tabel berikut;
Abad Industri
1. Guru sebagai pengarah
2. Guru sbgai smber pengetahuan
3. Belajar diarahkan oleh kuri- kulum.
4. Belajar dijadualkan secara ketat dgn waktu yang terbatas
5. Terutama didasarkan pd fakta
6. Bersifat teoritik, prinsip- prinsip dan survei
7. Pengulangan dan latihan
8. Aturan dan prosedur
9. Kompetitif
10. Berfokus pada kelas
11. Hasilnya ditentukan sblmnya
12. Mengikuti norma
13. Komputer sbg subyek belajar
14. Presentasi dgn media statis
15. Komunikasi sebatas ruang kls
16. Tes diukur dengan norma
Abad Pengetahuan
1. Guru sebagai fasilitator, pembimbing, konsultan
2. Guru sebagai kawan belajar
3. Belajar diarahkan oleh siswa kulum.
4. Belajar secara terbuka, ketat dgn waktu yang terbatas fleksibel sesuai keperluan
5. Terutama berdasarkan proyek dan masalah
6. Dunia nyata, dan refleksi prinsip dan survei
7. Penyelidikan dan perancangan
8. Penemuan dan penciptaan
9. Colaboratif
10. Berfokus pada masyarakat
11. Hasilnya terbuka
12. Keanekaragaman yang kreatif
13. Komputer sebagai peralatan semua jenis belajar
14. Interaksi multi media yang dinamis
15. Komunikasi tidak terbatas ke seluruh dunia
16. Unjuk kerja diukur oleh pakar, penasehat, kawan sebaya dan diri sendiri.

Berdasarkan Tabel dapat diambil beberapa kesimpulan bahwa;
1.Pada abad industri banyak dijumpai belajar melalui fakta, drill dan praktek, dan menggunakan aturan dan prosedur-prosedur. Sedangkan di abad pengetahuan menginginkan paradigma belajar melalui proyek-proyek dan permasalahan-permasalahan, inkuiri dan desain, menemukan dan penciptaan.
2.Betapa sulitnya mencapai reformasi yang sistemik, karena bila paradigma lama masih dominan, dampak reformasi cenderung akan ditelan oleh pengaruh paradigma lama.
3.Meskipun telah dinyatakan sebagai polaritas, perbedaan praktik pembelajaran Abad Pengetahuan dan Abad Industri dianggap sebagai suatu kontinum. Meskipun sekarang dimungkinkan memandang banyak contoh praktek di Abad Industri yang "murni" dan jauh lebih sedikit contoh lingkungan pembelajaran di Abad Pengetahuan yang "murni", besar kemungkinannya menemukan metode persilangan perpaduan antara metode di Abad Pengetahuan dan metode di Abad Industri. Perlu diingat dalam melakukan reformasi pembelajaran, metode lama tidak sepenuhnya hilang, namun hanya digunakan kurang lebih jarang dibanding metode-metode baru.
4.Praktek pembelajaran di Abad Pengetahuan lebih sesuai dengan teori belajar modern. Melalui penggunaan prinsip-prinsip belajar berorientasi pada proyek dan permasalahan sampai aktivitas kolaboratif dan difokuskan pada masyarakat, belajar kontekstual yang didasarkan pada dunia nyata dalam konteks ke peningkatan perhatian pada tindakan-tindakan atas dorongan pembelajar sendiri.
5.Pada Abad Pengetahuan nampaknya praktek pembelajaran tergantung pada piranti-piranti pengetahuan modern yakni komputer dan telekomunikasi, namun sebagian besar karakteristik Abad Pengetahuan bisa dicapai tanpa memanfaatkan piranti modern. Meskipun teknologi informasi dan telekomunikasi merupakan katalis yang penting yang membawa kita pada metode belajar Abad Pengetahuan, perlu diingat bahwa yang membedakan metode tersebut adalah pelaksanaan hasilnya bukan alatnya. Kita dapat melengkapi peralatan lembaga pendidikan kita dengan teknologi canggih tanpa mengubah pelaksanaan dan hasilnya.

Akhirnya yang paling penting, paradigma baru pembelajaran ini memberikan peluang dan tantangan yang besar bagi perkembangan profesional, baik pada preservice dan inservice guru-guru kita. Di banyak hal, paradigma ini menggambarkan redefinisi profesi pengajaran dan peran-peran yang dimainkan guru dalam proses pembelajaran. Meskipun kebutuhan untuk merawat, mengasuh, menyayangi dan mengembangkan anak-anak kita secara maksimal itu akan selalu tetap berada dalam genggaman pengajaran, tuntutan-tuntutan baru Abad Pengetahuan menghasilkan sederet prinsip pembelajaran baru dan perilaku yang harus dipraktikkan. Berdasarkan gambaran pembelajan di abad pengetahuan di atas, nampalah bahwa pentingnya pengembangan profesi guru dalam menghadapi berbagai tantangan ini.
Pengembangan Profesionalisme Guru Menurut para ahli, profesionalisme menekankan kepada penguasaan ilmu pengetahuan atau kemampuan manajemen beserta strategi penerapannya. Maister (1997) mengemukakan bahwa profesionalisme bukan sekadar pengetahuan teknologi dan manajemen tetapi lebih merupakan sikap, pengembangan profesionalisme lebih dari seorang teknisi bukan hanya memiliki keterampilan yang tinggi tetapi memiliki suatu tingkah laku yang dipersyaratkan.

Memperhatikan kualitas guru di Indonesia memang jauh berbeda dengan dengan guru-guru yang ada di Amerika Serikat atau Inggris. Di Amerika Serikat pengembangan profesional guru harus memenuhi standar sebagaimana yang dikemukakan Stiles dan Horsley (1998) dan NRC (1996) bahwa ada empat standar standar pengembangan profesi guru yaitu; (1) Standar pengembangan profesi A adalah pengembangan profesi untuk para guru sains memerlukan pembelajaran isi sains yang diperlukan melalui perspektif-perspektif dan metode-metode inquiri. Para guru dalam sketsa ini melalui sebuah proses observasi fenomena alam, membuat penjelasan-penjelasan dan menguji penjelasan- penjelasan tersebut berdasarkan fenomena alam; (2) Standar pengembangan profesi B adalah pengembangan profesi untuk guru sains memerlukan pengintegrasian pengetahuan sains, pembelajaran, pendidikan, dan siswa, juga menerapkan pengetahuan tersebut ke pengajaran sains. Pada guru yang efektif tidak hanya tahu sains namun mereka juga tahu bagaimana mengajarkannya. Guru yang efektif dapat memahami bagaimana siswa mempelajari konsep- konsep yang penting, konsep-konsep apa yang mampu dipahami siswa pada tahap-tahap pengembangan, profesi yang berbeda, dan pengalaman, contoh dan representasi apa yang bisa membantu siswa belajar; (3) Standar pengembangan profesi C adalah pengembangan profesi untuk para guru sains memerlukan pembentukan pemahaman dan kemampuan untuk pembelajaran sepanjang masa. Guru yang baik biasanya tahu bahwa dengan memilih profesi guru, mereka telah berkomitmen untuk belajar sepanjang masa. Pengetahuan baru selalu dihasilkan sehingga guru berkesempatan terus untuk belajar; (4) Standar pengembangan profesi D adalah program-program profesi untuk guru sains harus koheren (berkaitan) dan terpadu. Standar ini dimaksudkan untuk menangkal kecenderungan kesempatan-kesempatan pengembangan profesi terfragmentasi dan tidak berkelanjutan.

Apabila guru di Indonesia telah memenuhi standar profesional guru sebagaimana yang berlaku di Amerika Serikat maka kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia semakin baik. Selain memiliki standar profesional guru sebagaimana uraian di atas, di Amerika Serikat sebagaimana diuraikan dalam jurnal Educational Leadership 1993 (dalam Supriadi 1998) dijelaskan bahwa untuk menjadi profesional seorang guru dituntut untuk memiliki lima hal: (1) Guru mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya, (2) Guru menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkannya serta cara mengajarnya kepada siswa, (3) Guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai cara evaluasi, (4) Guru mampu berfikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belajar dari pengalamannya, (5) Guru seyogyanya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya.
Arifin (2000) mengemukakan guru Indonesia yang profesional dipersyaratkan mempunyai; (1) dasar ilmu yang kuat sebagai pengejawantahan terhadap masyarakat teknologi dan masyarakat ilmu pengetahuan di abad 21; (2) penguasaan kiat-kiat profesi berdasarkan riset dan praksis pendidikan yaitu ilmu pendidikan sebagai ilmu praksis bukan hanya merupakan konsep-konsep belaka. Pendidikan merupakan proses yang terjadi di lapangan dan bersifat ilmiah, serta riset pendidikan hendaknya diarahkan pada praksis pendidikan masyarakat Indonesia; (3) pengembangan kemampuan profesional berkesinambungan, profesi guru merupakan profesi yang berkembang terus menerus dan berkesinambungan antara LPTK dengan praktek pendidikan. Kekerdilan profesi guru dan ilmu pendidikan disebabkan terputusnya program pre-service dan in-service karena pertimbangan birokratis yang kaku atau manajemen pendidikan yang lemah.

Dengan adanya persyaratan profesionalisme guru ini, perlu adanya paradigma baru untuk melahirkan profil guru Indonesia yang profesional di abad 21 yaitu; (1) memiliki kepribadian yang matang dan berkembang; (2) penguasaan ilmu yang kuat; (3) keterampilan untuk membangkitkan peserta didik kepada sains dan teknologi; dan (4) pengembangan profesi secara berkesinambungan. Keempat aspek tersebut merupakan satu kesatuan utuh yang tidak dapat dipisahkan dan ditambah dengan usaha lain yang ikut mempengaruhi perkembangan profesi guru yang profesional.

Dimensi lain dari pola pembinaan profesi guru adalah (1) hubungan erat antara perguruan tinggi dengan pembinaan SLTA; (2) meningkatkan bentuk rekrutmen calon guru; (3) program penataran yang dikaitkan dengan praktik lapangan; (4) meningkatkan mutu pendidikan calon pendidik; (5) pelaksanaan supervisi; (6) peningkatan mutu manajemen pendidikan berdasarkan Total Quality Management (TQM); (7) melibatkan peran serta masyarakat berdasarkan konsep linc and match; (8) pemberdayaan buku teks dan alat-alat pendidikan penunjang; (9) pengakuan masyarakat terhadap profesi guru; (10) perlunya pengukuhan program Akta Mengajar melalui peraturan perundangan; dan (11) kompetisi profesional yang positif dengan pemberian kesejahteraan yang layak.

Apabila syarat-syarat profesionalisme guru di atas itu terpenuhi akan mengubah peran guru yang tadinya pasif menjadi guru yang kreatif dan dinamis. Hal ini sejalan dengan pendapat Semiawan (1991) bahwa pemenuhan persyaratan guru profesional akan mengubah peran guru yang semula sebagai orator yang verbalistis menjadi berkekuatan dinamis dalam menciptakan suatu suasana dan lingkungan belajar yang invitation learning environment. Dalam rangka peningkatan mutu pendidikan, guru memiliki multi fungsi yaitu sebagai fasilitator, motivator, informator, komunikator, transformator, change agent, inovator, konselor, evaluator, dan administrator (Soewondo, 1972 dalam Arifin 2000).

Pengembangan profesionalisme guru menjadi perhatian secara global, karena guru memiliki tugas dan peran bukan hanya memberikan informasi-informasi ilmu pengetahuan dan teknologi, melainkan juga membentuk sikap dan jiwa yang mampu bertahan dalam era hiperkompetisi. Tugas guru adalah membantu peserta didik agar mampu melakukan adaptasi terhadap berbagai tantangan kehidupan serta desakan yang berkembang dalam dirinya. Pemberdayaan peserta didik ini meliputi aspek-aspek kepribadian terutama aspek intelektual, sosial, emosional, dan keterampilan. Tugas mulia itu menjadi berat karena bukan saja guru harus mempersiapkan generasi muda memasuki abad pengetahuan, melainkan harus mempersiapkan diri agar tetap eksis, baik sebagai individu maupun sebagai profesional.

Faktor-faktor Penyebab Rendahnya Profesionalisme Guru Kondisi pendidikan nasional kita memang tidak secerah di negara-negara maju. Baik institusi maupun isinya masih memerlukan perhatian ekstra pemerintah maupun masyarakat. Dalam pendidikan formal, selain ada kemajemukan peserta, institusi yang cukup mapan, dan kepercayaan masyarakat yang kuat, juga merupakan tempat bertemunya bibit-bibit unggul yang sedang tumbuh dan perlu penyemaian yang baik.
Pekerjaan penyemaian yang baik itu adalah pekerjaan seorang guru. Jadi guru memiliki peran utama dalam system pendidikan nasional khususnya dan kehidupan kita umumnya.

Guru sangat mungkin dalam menjalankan profesinya bertentangan dengan hati nuraninya, karena ia paham bagaimana harus menjalankan profesinya namun karena tidak sesuai dengan kehendak pemberi petunjuk atau komando maka cara-cara para guru tidak dapat diwujudkan dalam tindakan nyata. Guru selalu diinterpensi. Tidak adanya kemandirian atau otonomi itulah yang mematikan profesi guru dari sebagai pendidik menjadi pemberi instruksi atau penatar. Bahkan sebagai penatarpun guru tidak memiliki otonomi sama sekali. Selain itu, ruang gerak guru selalu dikontrol melalui keharusan membuat satuan pelajaran (SP). Padahal, seorang guru yang telah memiliki pengalaman mengajar di atas lima tahun sebetulnya telah menemukan pola belajarnya sendiri. Dengan dituntutnya guru setiap kali mengajar membuat SP maka waktu dan energi guru banyak terbuang. Waktu dan energi yang terbuang ini dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan dirinya.

Akadum (1999) menyatakan dunia guru masih terselingkung dua masalah yang memiliki mutual korelasi yang pemecahannya memerlukan kearifan dan kebijaksanaan beberapa pihak terutama pengambil kebijakan; (1) profesi keguruan kurang menjamin kesejahteraan karena rendah gajinya. Rendahnya gaji berimplikasi pada kinerjanya; (2) profesionalisme guru masih rendah.

Selain faktor di atas faktor lain yang menyebabkan rendahnya profesionalisme guru disebabkan oleh antara lain; (1)masih banyak guru yang tidak menekuni profesinya secara utuh. Hal ini disebabkan oleh banyak guru yang bekerja diluar jam kerjanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari sehingga waktu untuk membaca dan menulis untukmeningkatkan diri tidak ada; (2) belum adanya standar profesional guru sebagaimana tuntutan di negara-negara maju; (3) kemungkinan disebabkan oleh adanya perguruan tinggi swasta sebagai pencetak guru yang lulusannya asal jaditanpa mempehitungkan outputnya kelak di lapangan sehingga menyebabkan banyak guru yang tidak patuh terhadap etika profesi keguruan; (4) kurangnya motivasi guru dalam meningkatkan kualitas diri karena guru tidak dituntut untuk meneliti sebagaimana yang diberlakukan pada dosen di perguruan tinggi.

Akadum (1999) juga mengemukakan bahwa ada lima penyebab rendahnya profesionalisme guru; (1) masih banyak guru yang tidak menekuni profesinya secara total, (2) rentan dan rendahnya kepatuhan guru terhadap norma dan etika profesi keguruan, (3) pengakuan terhadap ilmu pendidikan dan keguruan masih setengah hati dari pengambilan kebijakan dan pihak-pihak terlibat. Hal ini terbukti dari masih belum mantapnya kelembagaan pencetak tenaga keguruan dan kependidikan, (4) masih belum smooth-nya perbedaan pendapat tentang proporsi materi ajar yang diberikan kepada calon guru, (5) masih belum berfungsi PGRI sebagai organisasi profesi yang berupaya secara makssimal meningkatkan profesionalisme anggotanya. Kecenderungan PGRI bersifat politis memang tidak bisa disalahkan, terutama untuk menjadi pressure group agar dapat meningkatkan kesejahteraan anggotanya. Namun demikian di masa mendatang PGRI sepantasnya mulai mengupayakan profesionalisme para anggo-tanya. Dengan melihat adanya faktor-fak tor yang menyebabkan rendahnya profesionalisme guru, pemerintah berupaya untuk mencari alternatif untuk meningkatkan profesi guru.

Upaya Meningkatkan Profesionalisme Guru Pemerintah telah berupaya untuk meningkatkan profesionalisme guru diantaranya meningkatkan kualifikasi dan persyaratan jenjang pendidikan yang lebih tinggi bagi tenaga pengajar mulai tingkat persekolahan sampai perguruan tinggi. Program penyetaaan Diploma II bagi guru-guru SD, Diploma III bagi guru-guru SLTP dan Strata I (sarjana) bagi guru-guru SLTA. Meskipun demikian penyetaraan ini tidak bermakna banyak, kalau guru tersebut secara entropi kurang memiliki daya untuk melakukan perubahan.
Selain diadakannya penyetaraan guru-guru, upaya lain yang dilakukan pemerintah adalah program sertifikasi. Program sertifikasi telah dilakukan oleh Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam (Dit Binrua) melalui proyek Peningkatan Mutu Pendidikan Dasar (ADB Loan 1442-INO) yang telah melatih 805 guru MI dan 2.646 guru MTs dari 15 Kabupaten dalam 6 wilayah propinsi yaitu Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB dan Kalimantan Selatan (Pantiwati, 2001).
Selain sertifikasi upaya lain yang telah dilakukan di Indonesia untuk meningkatkan profesionalisme guru, misalnya PKG (Pusat Kegiatan Guru, dan KKG (Kelompok Kerja Guru) yang memungkinkan para guru untuk berbagi pengalaman dalam memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi dalam kegiatan mengajarnya (Supriadi, 1998).
Profesionalisasi harus dipandang sebagai proses yang terus menerus. Dalam proses ini, pendidikan prajabatan, pendidikan dalam jabatan termasuk penataran, pembinaan dari organisasi profesi dan tempat kerja, penghargaan masyarakat terhadap profesi keguruan, penegakan kode etik profesi, sertifikasi, peningkatan kualitas calon guru, imbalan, dll secara bersama-sama menentukan pengembangan profesionalisme seseorang termasuk guru.

Dengan demikian usaha meningkatkan profesionalisme guru merupakan tanggung jawab bersama antara LPTK sebagai penghasil guru, instansi yang membina guru (dalam hal ini Depdiknas atau yayasan swasta), PGRI dan masyarakat. Dari beberapa upaya yang telah dilakukan pemerintah di atas, faktor yang paling penting agar guru-guru dapat meningkatkan kualifikasi dirinya yaitu dengan menyetarakan banyaknya jam kerja dengan gaji guru. Program apapun yang akan diterapkan pemerintah tetapi jika gaji guru rendah, jelaslah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya guru akan mencari pekerjaan tambahan untuk mencukupi kebutuhannya. Tidak heran kalau guru-guru di negara maju kualitasnya tinggi atau dikatakan profesional, karena penghargaan terhadap jasa guru sangat tinggi. Dalam Journal PAT (2001) dijelaskan bahwa di Inggris dan Wales untuk meningkatkan profesionalisme guru pemerintah mulai memperhatikan pembayaran gaji guru diseimbangkan dengan beban kerjanya. Di Amerika Serikat hal ini sudah lama berlaku sehingga tidak heran kalau pendidikan di Amerika Serikat menjadi pola anutan negara-negara ketiga. Di Indonesia telah mengalami hal ini tetapi ketika jaman kolonial Belanda. Setelah memasuki jaman orde baru semua ber ubah sehingga kini dampaknya terasa, profesi guru menduduki urutan terbawah dari urutan profesi lainnya seperti dokter, jaksa, dll.

Memperhatikan peran guru dan tugas guru sebagai salah satu faktor determinan bagi keberhasilan pendidikan, maka keberadaan dan peningkatan profesi guru menjadi wacana yang sangat penting. Pendidikan di abad pengetahuan menuntut adanya manajemen pendidikan modern dan profesional dengan bernuansa pendidikan.
Kemerosotan pendidikan bukan diakibatkan oleh kurikulum tetapi oleh kurangnya kemampuan profesionalisme guru dan keengganan belajar siswa. Profesionalisme menekankan kepada penguasaan ilmu pengetahuan atau kemampuan manajemen beserta strategi penerapannya. Profesionalisme bukan sekadar pengetahuan teknologi dan manajemen tetapi lebih merupakan sikap, pengembangan profesionalisme lebih dari seorang teknisi bukan hanya memiliki keterampilan yang tinggi tetapi memiliki suatu tingkah laku yang dipersyaratkan.

Guru yang profesional pada dasarnya ditentukan oleh attitudenya yang berarti pada tataran kematangan yang mempersyaratkan willingness dan ability, baik secara intelektual maupun pada kondisi yang prima. Profesionalisasi harus dipandang sebagai proses yang terus menerus. Usaha meningkatkan profesionalisme guru merupakan tanggungjawab bersama antara LPTK sebagai pencetak guru, instansi yang membina guru (dalam hal ini Depdiknas atau yayasan swasta), PGRI dan masyarakat.

Daftar Rujukan
- Akadum. 1999. Potret Guru Memasuki Milenium Ketiga. Suara Pembaharuan. (Online) (http://www.suarapembaharuan.com/News/1999/01/220199/OpEd, diakses 7 Juni 2001). Hlm. 1-2.
- Arifin, I. 2000. Profesionalisme Guru: Analisis Wacana Reformasi Pendidikan dalam Era Globalisasi. Simposium Nasional Pendidikan di Universitas Muhammadiyah Malang, 25-26 Juli 2001.
- Dahrin, D. 2000. Memperbaiki Kinerja Pendidikan Nasional Secara Komprehensip: Transformasi Pendidikan. Komunitas, Forum Rektor Indonesia. Vol.1 No. Hlm 24.
- Degeng, N.S. 1999. Paradigma Baru Pendidikan Memasuki Era Desentralisasi dan Demokrasi. Jurnal Getengkali Edisi 6 Tahun III 1999/2000. Hlm. 2-9.
- Galbreath, J. 1999. Preparing the 21st Century Worker: The Link Between Computer-Based Technology and Future Skill Sets. Educational Technology Nopember-Desember 1999. Hlm. 14-22.
- Maister, DH. 1997. True Professionalism. New York: The Free Press. Makagiansar, M. 1996. Shift in Global paradigma and The Teacher of Tomorrow, 17th. Convention of the Asean Council of Teachers (ACT); 5-8 Desember, 1996, Republic of Singapore.
- Naisbitt, J. 1995. Megatrend Asia: Delapan Megatrend Asia yang Mengubah Dunia, (Alih bahasa oleh Danan Triyatmoko dan Wandi S. Brata): Jakarta: Gramdeia.
- Nasanius, Y. 1998. Kemerosotan Pendidikan Kita: Guru dan Siswa Yang Berperan Besar, Bukan Kurikulum. Suara Pembaharuan. (Online) (http://www.suara pembaharuan.com/News/1998/08/230898, diakses 7 Juni 2001). Hlm. 1-2.
- NRC. 1996. Standar for Professional Development for Teacher Sains. Hlm. 59-70
- Pantiwati, Y. 2001. Upaya Peningkatan Profesionalisme Guru Melalui Program Sertifikasi Guru Bidang Studi (untuk Guru MI dan MTs). Makalah Dipresentasikan. Malang: PSSJ PPS Universitas Malang. Hlm.1-12.
- Journal PAT. 2001. Teacher in England and Wales. Professionalisme in Practice: the PAT Journal. April/Mei 2001. (Online) (http://members. aol.com/PTRFWEB/journal1040.html, diakses 7 Juni 2001)
- Semiawan, C.R. 1991. Mencari Strategi Pengembangan Pendidikan Nasional Menjelang Abad XXI. Jakarta: Grasindo. Stiles, K.E. dan Loucks-Horsley, S. 1998. Professional Development Strategies: Proffessional Learning Experiences Help Teachers Meet the Standards. The Science Teacher. September 1998. hlm. 46-49).
- Sumargi. 1996. Profesi Guru Antara Harapan dan Kenyataan. Suara Guru No. 3-4/1996. Hlm. 9-11.
- Supriadi, D. 1998. Mengangkat Citra dan Martabat Guru. Jakarta: Depdikbud. Surya, H.M. 1998. Peningkatan Profesionalisme Guru Menghadapi Pendidikan Abad ke-21n (I); Organisasi & Profesi. Suara Guru No. 7/1998. Hlm. 15-17.
- Tilaar, H.A.R. 1999. Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam Perspektif Abad 21. Magelang: Indonesia Tera.
- Trilling, B. dan Hood, P. 1999. Learning, Technology, and Education Reform in the Knowledge Age or "We're Wired, Webbed, and Windowed, Now What"? Educational Technology may-June 1999. Hlm. 5-18.
- Sumber: Pendidikan Network, 23 Juli 2003

20100501

CORAT-CORET SERAGAM SEBAGAI BUDAYA TANDING


Bulan Mei ini adalah bulan di mana para siswa berjuang keras ‘melawan’ Ujian Akhir Nasional. Bulan ini adalah bulan penentuan bagi masa depan mereka. Bagi siswa SLTA khususnya, bulan ini merupakan momen pertaruhan apakah mereka mendapatkan nilai bagus dan bisa melenggang ke perguruan tinggi atau harus bermenung termangu merenungi nasib karena hanya tamat sekolah bukan lulus. Bagi siswa SLTP kasusnya tak jauh berbeda, melanjutkan ke tingkat SLTA atau menyabarkan diri karena tidak lulus.

Menariknya, bagi mereka yang lulus, perayaan kelulusan yang sangat simbolik dilakukan dengan corat-coret seragam. Seragam mereka yang bersih dan rapi dicorat-coret dengan cat semprot atau pilox selain dengan spidol. Mereka dengan bersemangat bergantian meminta teman-temannya bahkan guru-gurunya untuk membubuhkan tanda tangan di baju dan celana atau roknya. Acapkali corat-coret itu bukan hanya ke busana saja tapi juga ke tubuh dan rambut. Beberapa dicorat-coret dengan gaya yang nyeni, tapi lebih banyak yang sembarangan.

Tindakan corat-coret seragam (ccs) ini bisa dikata telah menjadi tradisi setiap tahunnya untuk dilakukan para siswa yang lulus. Banyak orang tua menyayangkan tindakan itu, karena buang-buang duit untuk bikin seragam lagi atau paling tidak bisa disumbangkan bagi mereka yang membutuhkannya. Sebagian lagi menganggap tindakan corat-coret ini adalah hal yang wajar sebagai tanda melepas ketegangan setelah menghadapi ujian berat yang memeras otak.



Normalitas, ‘Seni’, ‘Budaya’

Andaikata apa yang dilakukan para anak muda yang bercorat-coret seragam merupakan kebiasaan sehari-hari dan ditampilkan di tempat publik, maka pandangan sinis terhadap praktik sosial mereka ini tak akan ada. Sinisme atas tradisi ccs lahir dari kehidupan sehari-hari yang jarang dipenuhi dengan corat-coret. Kehidupan sehari-hari diwarnai dengan keteraturan dan kerapihan yang lantas menjadi ‘normalitas’. ‘Normalitas’ ini tidak lain adalah hasil naturalisasi, meminjam Barthes, filsuf pasca-strukturalis, di mana apa yang pada dasarnya kultural diorganisasi menjadi natural. Sesuatu yang aslinya bikinan, ciptaan, dikonversi menjadi alamiah. Siapa yang melakukan naturalisasi ini? Barthes menyindir naturalisasi ini diarahkan oleh ‘ideologi anonim’ yang dibikin oleh kaum borjuasi. Peliknya, naturalisasi ini berlangsung melalui kehidupan sehari-hari (everyday life). Kehidupan sehari-hari kita ternyata tidak netral, tidak sepi dari penetrasi ideologis kaum borjuasi yang canggih. Bahkan, justru kehidupan sehari-hari itu ternyata sangat ideologis.

Ccs dianggap sebagai sesuatu yang subversif bagi norma-norma sosial karena kelihatan serampangan, sembarangan, acak, dan ngawur. Ccs sama sekali tidak ‘artistik’. Ya, ‘artistik’ dalam definisi kita yang menyiratkan adanya keteraturan, kedisiplinan, kerapihan, dan yang terpenting ditempatkan di dalam ruang tertentu yang telah didomestikasi. Dengan memenuhi syarat ‘artistik’ macam ini maka suatu aktivitas baru layak disebut memiliki nilai estetis sehingga berseni dan pantas diberi pangkat ‘berbudaya’. Di luar ini, sukar menganggap sesuatu itu ‘artistik’ dan ‘berbudaya’.

Walter Benjamin, seorang pemikir seni dan budaya, menilik bahwa pengertian budaya di atas merupakan perampokan dan pengerdilan atas makna budaya yang luas. Senada dengan Marx, baginya budaya tidak hanya terbatas pada pengertian yang artistik dan literer semata. Budaya sebagai superstruktur, justru memiliki pengertian yang total, terkait dengan transformasi substruktur yang dipicu oleh perubahan kondisi produksi (Benjamin: 1984). Dalam konteks ini, ccs sebagai suatu praktik sosial anak muda Indonesia, tak pelak terkait erat dengan arus kultural yang dipengaruhi oleh kondisi produksi kultural ekonomis dari Indonesia sendiri. Dengan pengertian budaya semacam ini, maka kita dengan mudah bisa mengatakan bahwa ccs sebenarnya juga termasuk aktivitas seni, aktivitas yang berbudaya. Lebih dari itu, ccs sebagai seni dan aktivitas kultural tandingan merupakan seni perlawanan dan anti kemapanan. Ia adalah refleksi dari semangat anak muda yang menolak pembakuan, kebekuan, dan menggelorakan perubahan.



Ccs: Subkultur Anak Muda

Kalau dilihat sepintas, apa yang dilakukan oleh para remaja siswa dengan corat-coret seragamnya bukan suatu hal yang tak lazim. Mereka menggunakan barang-barang yang sangat kita kenal dalam kehidupan sehari-hari. Siapa dari kita yang tidak kenal cat atau spidol? Lingkungan sehari-hari kita tentu dipenuhi dengan berbagai macam olesan cat, dari dinding kamar, papan jalan, mobil-mobil yang berseliweran, gedung-gedung sekolah dan kantor, rumah, tiang listrik dan telepon, pagar, tembok, dlsb. Pendek kata, cat dan pemakaiannya dalam beragam bentuknya sudah merasuk dalam pikiran dan bawah sadar kita sebagai hal yang normal. Tapi, mendadak ketika para remaja menyemprot-mengoles-mencoretkan cat ke pakaian bahkan tubuh mereka, mengapa terasa ada sesuatu yang salah? Di mana letak kesalahan ini? Dan, mengapa sebagian kita memutusnya salah?

Anggapan kita tentang adanya sesuatu yang salah ini sebenarnya menyedot kita ke dalam aras norma dominan. Ketika cat dioleskan ‘pada tempatnya’ dan ‘teratur’ kita menganggapnya sebagai sesuatu ‘yang alamiah’ (natural). Tapi, manakala dioleskan ‘tidak pada tempatnya’ dan ‘tidak teratur’, kita serta-merta menganggapnya sebagai tindakan yang aneh, menyimpang, dan melawan norma sosial. Dalam konteks ini, tradisi ccs para siswa yang menjadi ritual tahunan ini dianggap menyeleweng dari norma dominan. Ia berkembang menjadi bagian dari subkultur anak muda. Term subkultur mengacu pada kelompok yang berpegangan pada nilai-nilai dan norma-norma yang berbeda dengan anutan masyarakat dominan.

Subkultur melibatkan adanya gaya yang dengan ekspresi bentuk dan ritual kelompok-kelompok subordinatnya memiliki implikasi subversif. Barang-barang yang digunakan dalam tradisi ccs adalah barang-barang yang sangat biasa dan tak menarik, namun bagaimanapun, dengan bentuk ccs ia menarik dimensi simbolik, menjadi sebentuk stigmata, tanda pemencilan (exile) yang ditatahkan sendiri (Hebdige: 1999). Ccs menampilkan tegangan antara kelompok-kelompok dominan dan subordinat tepat dalam gaya yang dibikin dari barang-barang sehari-hari yang—mereka ingatkan—memiliki makna ganda. Di satu sisi, mengingatkan adanya makna yang ‘lurus’, dan di sisi lainnya, menjadi tanda-tanda identitas yang terlarang. Dengan demikian, subkultur selalu memiliki makna yang bertikai, berselisih, dan gaya merupakan wilayah di mana definisi-definisi yang berlawanan dibantah dengan kekuatan yang dramatis. Gaya menjadi arena perebutan di mana gaya ccs menandai adanya Penolakan, penolakan atas makna, nilai dan norma dominan.



Ccs vis-à-vis Kultur Pendidikan

Ccs secara retrospektif sebenarnya berhubungan erat dengan kultur pendidikan Indonesia. Belakangan, ketika kritikan semakin bertumpuk diarahkan pada kultur pendidikan negeri pasca-kolonial ini, (kasus SMP 56 dan UAN) maka tradisi ccs yang dilakukan para remaja ini sebenarnya merupakan pukulan dan penolakan dari anak kandung dunia pendidikan sendiri. Corat-coret seragam yang mereka lakukan merepresentasikan sejumlah kritikan yang pedas. Pertama, monotonnya sistem pengajaran yang dilangsungkan. Ini adalah efek dari sistem pendidikan ‘gaya bank’ yang kapitalistik, meminjam Paulo Freire. Dengan sistem pendidikan ini, relasi yang terbangun antara guru dan murid tak lain adalah relasi subyek-obyek, penindas-tertindas, majikan-bawahan, tuan-budak. Kesadaran ontologis yang diciptakan pun terpola pada prinsip mengada adalah memiliki, khas kesadaran penindas. Memiliki berarti menguasai, mendominasi, menindas. Dengan demikian, secara gradual kesadaran para siswa didehumanisasi. Ia tak pernah dijadikan pelaku. Siswa hanya diposisikan sebagai seonggok benda, bukan manusia. Benda yang tak punya kemauan dan kehendak.

Kedua, bagaimana sekolah berkembang menjadi penjara. Logika sekolah dalam dunia yang kapitalistik memang menjadi homolog dengan logika penjara, rumah sakit, dan barak tentara. Hal ini, seperti diuraikan Foucault, dikarenakan diseminasi teknologi pendisiplinan ke segala ranah kehidupan keseharian. Betapa ironisnya, ketika siswa bersekolah ia harus memasuki gedung yang berpagar dan lagi-lagi saat berada di lingkungan sekolah ia diingatkan bahwa ‘Ini adalah lingkungan sekolah’, ‘Rapihkan pakaian anda sebelum masuk kelas’. Guru-guru tidak berbeda halnya seperti sipir penjara, pegawai rumah sakit, dan komandan tentara. Kata-kata mereka menjadi sabda yang sukar dibantah, harus dituruti, dan kalau tidak dihukum. Sekolah penuh dengan ancaman dan hukuman, kalau tidak fisik maka nilai nominal.

Ketiga, mereka mengingatkan betapa tubuh mereka adalah milik mereka sendiri; bukan milik guru, bukan milik sekolah, bukan milik bangsa, bukan milik negara. Para anak muda ini menantang norma sosial dominan yang berupaya menormalkan, mendisiplinkan, dan menundukkan (subjected). Mereka menolak menjadi subyek yang tunduk, obyek yang diam. Mereka menegaskan bahwa mereka adalah manusia, bukan budak dan bukan barang. Mencorat-coret seragam bahkan tubuh adalah simbolik dari perlawanan atas penyeragaman yang dilakukan negara pada tubuh dan pikiran. Perlawanan atas penyeragaman yang dilakukan negara dalam ritual kehidupan sehari-hari (keharusan berseragam setiap sekolah), mingguan (upacara tiap senin), dan tahunan (upacara tujuhbelasan). Para anak muda ini menegaskan kerinduan mereka pada keberagaman, warna-warni, dan dinamisnya kehidupan.

Ditarik ke aras praktik sosial anak muda lainnya, sebenarnya makna ccs senapas dengan tawuran dan grafiti. Bagaimanapun, grafiti, tawuran, dan ccs memiliki logika praktiknya sendiri. Grafiti, tawuran, dan ccs adalah semburan dari lubang katup keterkekangan sosial para anak muda. Grafiti adalah sebuah penatahan identitas dan kreatifitas di ruang-ruang publik. Grafiti adalah tanda perebutan ruang. Ia merupakan pemberontakan atas identitas yang mau diciptakan oleh kelompok sosial dominan dan kreatifitas yang dibungkam dalam penyingkiran sarana kreatifitas sosial anak muda. Tawuran pun merupakan suatu jalan anak muda menciptakan komunitasnya sendiri sebagai pendurhakaan atas pemampatan semangat pengelompokan sosial dalam Organisasi Intra Sekolah (OSIS) semata. Tawuran adalah perlawanan atas kepicikan negara yang memaksakan penyeragaman ruang sosial keorganisasian. Puncak perlawanan khas anak muda ini terdapat dalam bentuk radikal praktik subversif yang dilakukan dengan corat-coret seragam yang melekat di tubuh mereka. Menjadikan tubuh sebagai arena perlawanan memang merupakan bentuk simbolik paling radikal dari aktivitas perlawanan sosial.

Para anak muda selalu menjadi agen perubahan meskipun bentuk upayanya mungkin dianggap naif dan remeh. Bagaimanapun, hal yang naif dan remeh bisa menjadi sarana pelepasan ketegangan dan keterkekangan. Ya, keterkekangan yang menghimpit sanubari sosial memang selalu akan mencari jalannya sendiri untuk keluar. Para anak muda ini menegaskan kenyataan ini setiap tahunnya dengan corat-coret seragam. Kehidupan haruslah penuh warna-warni![ ]



Riza Bahtiar

Penulis adalah Peneliti pada DESANTARA Institute for Cultural Studies



Off. 021-77203470, Hp. 0813-11335970

e-mail: ribahtiar@yahoo.com

Ini tulisan auk bikin pas rame-ramenya kelulusan anak-anak sekolah. ya, iseng aja ngomentarin fenomena anak muda. Dikirim ke media, ga dimuat. ya udah, dimuat sendiri aja. hehe... Sebenarnya auk pingin lebih jauh ngeksplor bagaimana hubungan seragam dengan kondisi pendidikan Indonesia mutakhir: seragam dan bangunan sekolah, guru dan anak sekolah, ideologi kurikulum pengajaran. Tapi, alasan klise, waktunya coy.


Prev: Orang Banjar, orang Dagang
Next: BAHASA DAN PROSES EGALITARIANISASI KULTURAL