20100501

CORAT-CORET SERAGAM SEBAGAI BUDAYA TANDING


Bulan Mei ini adalah bulan di mana para siswa berjuang keras ‘melawan’ Ujian Akhir Nasional. Bulan ini adalah bulan penentuan bagi masa depan mereka. Bagi siswa SLTA khususnya, bulan ini merupakan momen pertaruhan apakah mereka mendapatkan nilai bagus dan bisa melenggang ke perguruan tinggi atau harus bermenung termangu merenungi nasib karena hanya tamat sekolah bukan lulus. Bagi siswa SLTP kasusnya tak jauh berbeda, melanjutkan ke tingkat SLTA atau menyabarkan diri karena tidak lulus.

Menariknya, bagi mereka yang lulus, perayaan kelulusan yang sangat simbolik dilakukan dengan corat-coret seragam. Seragam mereka yang bersih dan rapi dicorat-coret dengan cat semprot atau pilox selain dengan spidol. Mereka dengan bersemangat bergantian meminta teman-temannya bahkan guru-gurunya untuk membubuhkan tanda tangan di baju dan celana atau roknya. Acapkali corat-coret itu bukan hanya ke busana saja tapi juga ke tubuh dan rambut. Beberapa dicorat-coret dengan gaya yang nyeni, tapi lebih banyak yang sembarangan.

Tindakan corat-coret seragam (ccs) ini bisa dikata telah menjadi tradisi setiap tahunnya untuk dilakukan para siswa yang lulus. Banyak orang tua menyayangkan tindakan itu, karena buang-buang duit untuk bikin seragam lagi atau paling tidak bisa disumbangkan bagi mereka yang membutuhkannya. Sebagian lagi menganggap tindakan corat-coret ini adalah hal yang wajar sebagai tanda melepas ketegangan setelah menghadapi ujian berat yang memeras otak.



Normalitas, ‘Seni’, ‘Budaya’

Andaikata apa yang dilakukan para anak muda yang bercorat-coret seragam merupakan kebiasaan sehari-hari dan ditampilkan di tempat publik, maka pandangan sinis terhadap praktik sosial mereka ini tak akan ada. Sinisme atas tradisi ccs lahir dari kehidupan sehari-hari yang jarang dipenuhi dengan corat-coret. Kehidupan sehari-hari diwarnai dengan keteraturan dan kerapihan yang lantas menjadi ‘normalitas’. ‘Normalitas’ ini tidak lain adalah hasil naturalisasi, meminjam Barthes, filsuf pasca-strukturalis, di mana apa yang pada dasarnya kultural diorganisasi menjadi natural. Sesuatu yang aslinya bikinan, ciptaan, dikonversi menjadi alamiah. Siapa yang melakukan naturalisasi ini? Barthes menyindir naturalisasi ini diarahkan oleh ‘ideologi anonim’ yang dibikin oleh kaum borjuasi. Peliknya, naturalisasi ini berlangsung melalui kehidupan sehari-hari (everyday life). Kehidupan sehari-hari kita ternyata tidak netral, tidak sepi dari penetrasi ideologis kaum borjuasi yang canggih. Bahkan, justru kehidupan sehari-hari itu ternyata sangat ideologis.

Ccs dianggap sebagai sesuatu yang subversif bagi norma-norma sosial karena kelihatan serampangan, sembarangan, acak, dan ngawur. Ccs sama sekali tidak ‘artistik’. Ya, ‘artistik’ dalam definisi kita yang menyiratkan adanya keteraturan, kedisiplinan, kerapihan, dan yang terpenting ditempatkan di dalam ruang tertentu yang telah didomestikasi. Dengan memenuhi syarat ‘artistik’ macam ini maka suatu aktivitas baru layak disebut memiliki nilai estetis sehingga berseni dan pantas diberi pangkat ‘berbudaya’. Di luar ini, sukar menganggap sesuatu itu ‘artistik’ dan ‘berbudaya’.

Walter Benjamin, seorang pemikir seni dan budaya, menilik bahwa pengertian budaya di atas merupakan perampokan dan pengerdilan atas makna budaya yang luas. Senada dengan Marx, baginya budaya tidak hanya terbatas pada pengertian yang artistik dan literer semata. Budaya sebagai superstruktur, justru memiliki pengertian yang total, terkait dengan transformasi substruktur yang dipicu oleh perubahan kondisi produksi (Benjamin: 1984). Dalam konteks ini, ccs sebagai suatu praktik sosial anak muda Indonesia, tak pelak terkait erat dengan arus kultural yang dipengaruhi oleh kondisi produksi kultural ekonomis dari Indonesia sendiri. Dengan pengertian budaya semacam ini, maka kita dengan mudah bisa mengatakan bahwa ccs sebenarnya juga termasuk aktivitas seni, aktivitas yang berbudaya. Lebih dari itu, ccs sebagai seni dan aktivitas kultural tandingan merupakan seni perlawanan dan anti kemapanan. Ia adalah refleksi dari semangat anak muda yang menolak pembakuan, kebekuan, dan menggelorakan perubahan.



Ccs: Subkultur Anak Muda

Kalau dilihat sepintas, apa yang dilakukan oleh para remaja siswa dengan corat-coret seragamnya bukan suatu hal yang tak lazim. Mereka menggunakan barang-barang yang sangat kita kenal dalam kehidupan sehari-hari. Siapa dari kita yang tidak kenal cat atau spidol? Lingkungan sehari-hari kita tentu dipenuhi dengan berbagai macam olesan cat, dari dinding kamar, papan jalan, mobil-mobil yang berseliweran, gedung-gedung sekolah dan kantor, rumah, tiang listrik dan telepon, pagar, tembok, dlsb. Pendek kata, cat dan pemakaiannya dalam beragam bentuknya sudah merasuk dalam pikiran dan bawah sadar kita sebagai hal yang normal. Tapi, mendadak ketika para remaja menyemprot-mengoles-mencoretkan cat ke pakaian bahkan tubuh mereka, mengapa terasa ada sesuatu yang salah? Di mana letak kesalahan ini? Dan, mengapa sebagian kita memutusnya salah?

Anggapan kita tentang adanya sesuatu yang salah ini sebenarnya menyedot kita ke dalam aras norma dominan. Ketika cat dioleskan ‘pada tempatnya’ dan ‘teratur’ kita menganggapnya sebagai sesuatu ‘yang alamiah’ (natural). Tapi, manakala dioleskan ‘tidak pada tempatnya’ dan ‘tidak teratur’, kita serta-merta menganggapnya sebagai tindakan yang aneh, menyimpang, dan melawan norma sosial. Dalam konteks ini, tradisi ccs para siswa yang menjadi ritual tahunan ini dianggap menyeleweng dari norma dominan. Ia berkembang menjadi bagian dari subkultur anak muda. Term subkultur mengacu pada kelompok yang berpegangan pada nilai-nilai dan norma-norma yang berbeda dengan anutan masyarakat dominan.

Subkultur melibatkan adanya gaya yang dengan ekspresi bentuk dan ritual kelompok-kelompok subordinatnya memiliki implikasi subversif. Barang-barang yang digunakan dalam tradisi ccs adalah barang-barang yang sangat biasa dan tak menarik, namun bagaimanapun, dengan bentuk ccs ia menarik dimensi simbolik, menjadi sebentuk stigmata, tanda pemencilan (exile) yang ditatahkan sendiri (Hebdige: 1999). Ccs menampilkan tegangan antara kelompok-kelompok dominan dan subordinat tepat dalam gaya yang dibikin dari barang-barang sehari-hari yang—mereka ingatkan—memiliki makna ganda. Di satu sisi, mengingatkan adanya makna yang ‘lurus’, dan di sisi lainnya, menjadi tanda-tanda identitas yang terlarang. Dengan demikian, subkultur selalu memiliki makna yang bertikai, berselisih, dan gaya merupakan wilayah di mana definisi-definisi yang berlawanan dibantah dengan kekuatan yang dramatis. Gaya menjadi arena perebutan di mana gaya ccs menandai adanya Penolakan, penolakan atas makna, nilai dan norma dominan.



Ccs vis-à-vis Kultur Pendidikan

Ccs secara retrospektif sebenarnya berhubungan erat dengan kultur pendidikan Indonesia. Belakangan, ketika kritikan semakin bertumpuk diarahkan pada kultur pendidikan negeri pasca-kolonial ini, (kasus SMP 56 dan UAN) maka tradisi ccs yang dilakukan para remaja ini sebenarnya merupakan pukulan dan penolakan dari anak kandung dunia pendidikan sendiri. Corat-coret seragam yang mereka lakukan merepresentasikan sejumlah kritikan yang pedas. Pertama, monotonnya sistem pengajaran yang dilangsungkan. Ini adalah efek dari sistem pendidikan ‘gaya bank’ yang kapitalistik, meminjam Paulo Freire. Dengan sistem pendidikan ini, relasi yang terbangun antara guru dan murid tak lain adalah relasi subyek-obyek, penindas-tertindas, majikan-bawahan, tuan-budak. Kesadaran ontologis yang diciptakan pun terpola pada prinsip mengada adalah memiliki, khas kesadaran penindas. Memiliki berarti menguasai, mendominasi, menindas. Dengan demikian, secara gradual kesadaran para siswa didehumanisasi. Ia tak pernah dijadikan pelaku. Siswa hanya diposisikan sebagai seonggok benda, bukan manusia. Benda yang tak punya kemauan dan kehendak.

Kedua, bagaimana sekolah berkembang menjadi penjara. Logika sekolah dalam dunia yang kapitalistik memang menjadi homolog dengan logika penjara, rumah sakit, dan barak tentara. Hal ini, seperti diuraikan Foucault, dikarenakan diseminasi teknologi pendisiplinan ke segala ranah kehidupan keseharian. Betapa ironisnya, ketika siswa bersekolah ia harus memasuki gedung yang berpagar dan lagi-lagi saat berada di lingkungan sekolah ia diingatkan bahwa ‘Ini adalah lingkungan sekolah’, ‘Rapihkan pakaian anda sebelum masuk kelas’. Guru-guru tidak berbeda halnya seperti sipir penjara, pegawai rumah sakit, dan komandan tentara. Kata-kata mereka menjadi sabda yang sukar dibantah, harus dituruti, dan kalau tidak dihukum. Sekolah penuh dengan ancaman dan hukuman, kalau tidak fisik maka nilai nominal.

Ketiga, mereka mengingatkan betapa tubuh mereka adalah milik mereka sendiri; bukan milik guru, bukan milik sekolah, bukan milik bangsa, bukan milik negara. Para anak muda ini menantang norma sosial dominan yang berupaya menormalkan, mendisiplinkan, dan menundukkan (subjected). Mereka menolak menjadi subyek yang tunduk, obyek yang diam. Mereka menegaskan bahwa mereka adalah manusia, bukan budak dan bukan barang. Mencorat-coret seragam bahkan tubuh adalah simbolik dari perlawanan atas penyeragaman yang dilakukan negara pada tubuh dan pikiran. Perlawanan atas penyeragaman yang dilakukan negara dalam ritual kehidupan sehari-hari (keharusan berseragam setiap sekolah), mingguan (upacara tiap senin), dan tahunan (upacara tujuhbelasan). Para anak muda ini menegaskan kerinduan mereka pada keberagaman, warna-warni, dan dinamisnya kehidupan.

Ditarik ke aras praktik sosial anak muda lainnya, sebenarnya makna ccs senapas dengan tawuran dan grafiti. Bagaimanapun, grafiti, tawuran, dan ccs memiliki logika praktiknya sendiri. Grafiti, tawuran, dan ccs adalah semburan dari lubang katup keterkekangan sosial para anak muda. Grafiti adalah sebuah penatahan identitas dan kreatifitas di ruang-ruang publik. Grafiti adalah tanda perebutan ruang. Ia merupakan pemberontakan atas identitas yang mau diciptakan oleh kelompok sosial dominan dan kreatifitas yang dibungkam dalam penyingkiran sarana kreatifitas sosial anak muda. Tawuran pun merupakan suatu jalan anak muda menciptakan komunitasnya sendiri sebagai pendurhakaan atas pemampatan semangat pengelompokan sosial dalam Organisasi Intra Sekolah (OSIS) semata. Tawuran adalah perlawanan atas kepicikan negara yang memaksakan penyeragaman ruang sosial keorganisasian. Puncak perlawanan khas anak muda ini terdapat dalam bentuk radikal praktik subversif yang dilakukan dengan corat-coret seragam yang melekat di tubuh mereka. Menjadikan tubuh sebagai arena perlawanan memang merupakan bentuk simbolik paling radikal dari aktivitas perlawanan sosial.

Para anak muda selalu menjadi agen perubahan meskipun bentuk upayanya mungkin dianggap naif dan remeh. Bagaimanapun, hal yang naif dan remeh bisa menjadi sarana pelepasan ketegangan dan keterkekangan. Ya, keterkekangan yang menghimpit sanubari sosial memang selalu akan mencari jalannya sendiri untuk keluar. Para anak muda ini menegaskan kenyataan ini setiap tahunnya dengan corat-coret seragam. Kehidupan haruslah penuh warna-warni![ ]



Riza Bahtiar

Penulis adalah Peneliti pada DESANTARA Institute for Cultural Studies



Off. 021-77203470, Hp. 0813-11335970

e-mail: ribahtiar@yahoo.com

Ini tulisan auk bikin pas rame-ramenya kelulusan anak-anak sekolah. ya, iseng aja ngomentarin fenomena anak muda. Dikirim ke media, ga dimuat. ya udah, dimuat sendiri aja. hehe... Sebenarnya auk pingin lebih jauh ngeksplor bagaimana hubungan seragam dengan kondisi pendidikan Indonesia mutakhir: seragam dan bangunan sekolah, guru dan anak sekolah, ideologi kurikulum pengajaran. Tapi, alasan klise, waktunya coy.


Prev: Orang Banjar, orang Dagang
Next: BAHASA DAN PROSES EGALITARIANISASI KULTURAL

Tidak ada komentar:

Posting Komentar