(sambungan...2)
Padahal penguasaan kekayaan milik rakyat oleh swasta, apalagi pihak asing,
telah diharamkan secara syar’i. Rasulullah saw. bersabda:
«الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلاَثٍ
فِي الْكَلإَِ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ»
Kaum Muslim bersekutu (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: padang
gembalaan, air dan api (HR Abu Dawud, Ibn Majah dan Ahmad).
Sebagai kepala negara, dulu Rasulullah saw. juga pernah menarik kepemilikan
atas tambang garam—yang memiliki cadangan dalam jumlah besar—dari
sahabat Abyadh bin Hummal (HR at-Tirmidzi). Ini merupakan dalil bahwa negara
wajib mengelola secara langsung tambang-tambang yang menguasai hajat hidup
orang banyak dan tidak menyerahkan penguasaannya kepada pihak lain (swasta
atau asing). Lalu hasilnya digunakan untuk kepentingan rakyat seperti
pembiayaan pendidikan dan kesehatan gratis; bisa juga dalam bentuk harga
minyak dan listrik yang murah.
Hanya dengan dua cara ini saja, kemakmuran dan kesejahteraan rakyat yang
didambakan akan terwujud. Syaratnya, penguasa negeri ini, dengan dukungan
semua komponen umat, harus berani menerapkan syariah Islam untuk mengatur
semua aspek kehidupan masyarakat, khususnya dalam pengelolaan ekonomi.
Penerapan syariah Islam secara total dalam semua aspek kehidupan ini tentu
tidak akan pernah bisa diwujudkan kecuali di dalam institusi Khilafah
Islamiyah. Inilah jalan baru untuk Indonesia yang lebih baik, bukan
terus-menerus mempertahankan kapitalisme-sekularisme, tergantung kepada IMF,
Bank Dunia, ABD, dan sejenisnya yang ternyata menjadi alat penjajahan. []
Pernyataan Hizbut Tahrir Indonesia: ADB dan Lembaga Donor Lainnya Alat
Penjajahan dan Terbukti Melangengkan Penjajahan Atas Indonesia
Nomor: 159/PU/E/05/09 Jakarta, 06 Mei 2009 M/11 Jumadil Awwal 1430 H.
Sidang Tahunan Asia Development Bank (ADB) di Nusa Dua Bali resmi ditutup,
Selasa (5/5) dengan kesepahaman untuk membantu negara berkembang menghadapi
krisis ekonomi. Pidato penutupan dilakukan oleh Presiden ADB, Hurihuko
Kuroda melalui rapat pleno. Dalam pernyataannya, Kuroda berharap ADB bisa
menjadi solusi masalah krisis saat ini dengan mempertahankan pertumbuhan
ekonomi jangka panjang dan menurunkan kemiskinan di berbagai negara anggota
ADB. ADB akan menggalang lembaga donor sebagai bentuk komitmen untuk
mengurangi kemiskinan.
ADB tentu saja tidak bisa diharapkan untuk menyelesaikan krisis ekonomi saat
ini. Sebab kebijakan yang ditempuh ADB selama ini dan solusi yang ditawarkan
ke depan tetap mengacu kebijakan neo-liberal seperti privatisasi,
pengurangan subsidi, memperkuat perbankan ribawi dan mengembangkan pasar
modal serta mengandalkan utang. Padahal kebijkan neo-liberal inilah yang
menjadi penyebab kemiskinan dan penderitaan rakyat di dunia ketiga.
Menurut Asian People Movement Againts ADB (27/04), kebijakan liberalisasi
sektor energi menjadi salah satu contoh skandal terbesar utang ADB di
Indonesia yang menyebabkan krisis. Bersama Bank Dunia dan USAID, ADB
memberikan pinjaman untuk melakukan “reformasi sektor energi” di
Indonesia dengan mensponsori pembuatan UU Migas dan juga ikut menyediakan
analisis kebijakan harga energi dan penghapusan subsidi serta menyediakan
analisis teknis tentang dampak ekonomi makro dan mikro atas kebijakan energi
tersebut. Akibatnya, di negara yang kaya sumber energi ini, rakyat berulang
kali mengalami kelangkaan energi karena kebijakan ekspor.
Selama empat puluh dua tahun rakyat telah menyaksikan dukungan ADB bagi
sektor swasta dan nasihatnya tentang kebijakan pasar bebas telah menyebabkan
dampak yang buruk pada pelayanan sosial, kehidupan, kedaulatan pangan serta
lingkungan. Bersama-sama dengan Bank Dunia, ADB telah menjadi penggerak
utama privatisasi layanan sosial di kawasan Asia Pasifik. ADB terlibat dalam
praktek privatisasi air di Indonesia, India, Pakistan, Korea Selatan, Nepal
dan Srilanka. ADB Juga mendanai privatisasi listrik dalam proyeknya di
Filipina, Bangladesh, Pakistan, Thailand, Indonesia, India dan banyak tempat
lainnya.
Tidak hanya itu kebijakan hutang yang dijalankan ADB selama ini telah
menjerat dunia ketiga termasuk Indonesia. Pemberian hutang alih-alih bisa
mensejahterakan rakyat, yang terjadi malah sebaliknya. Kebijakan hutang
dijadikan alat politik dan ekonomi negara-negara donor untuk mengokohkan
penjajahannya di Indonesia. Secara politik , negara-negara yang diberi utang
menjadi tidak mandiri dan dikontrol oleh negara donor.
(bersambung...)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar