Ekonomi Politik Pengelolaan SDA di Hutan P MERATUS
(Wednesday, 16 August 2006) - Contributed by MMCM Team - Last Updated (Wednesday, 16 August 2006)
H. Syaifullah Tamliha, S.Pi (Anggota DPRD Kalimantan Selatan)
disampaikan dalam Seminar Interaktif “Pelestarian dan Pengelolaan Kawasan Pegunungan Meratus yang Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat" Oleh YCHI-Permada Kalsel-PIM Malaris-Dinas Kehutanan Kalsel-Pemko Banjarbaru-The Gibbon FundationAula Gawi Sabarataan, Banjarbaru, 22 April 2006 Penduduk dunia telah mencapai 6.503.937.655 jiwa. Data tersebut tercatat dalam World Population Clocks pada hari jum’at 17 Maret 2006 pukul 07:44 GMT (WITA+8). Cina merupakan penduduk terbesar dunia dengan jumlah penduduk 1.306.313.812 jiwa per Juli 2005. Urutan kedua adalah India sebesar 1.080.264.388 jiwa per Juli 2005.
Sedangkan Indonesia dicatat berpenduduk 241.973.879 jiwa per Juli 2005 dengan perbandingan jenis kelamin laki-laki dan perempuan 1:1. Secara teoritis ”movement penduduk” akan berdampak pada degradasi lingkungan, sebab kerusakan lingkungan berasal dari kebutuhan energi yang dibutuhkan oleh penduduk dari berbagai Negara. Pada negara berkembang energi utama adalah Biomas berupa tumbuan dan hewan. Sedangkan Negara maju energy utamanya adalah bahanbakar fosil (BBM/Gas) dan energi listrik berupa PLTA dan PLTN (Biomas mulai ditinggalkan). Sumber energi utama terdapat diberbagai Negara, termasuk Indonesia ”wabil khususan” Kalimantan Selatan. Kita bersyukur sumber daya alam (SDA) di Kalimantan Selatan tersedia berlimpah ruah dan beraneka ragam. Saat ini, setelah minyak bumi yang habis Terkuras, Kalimantan selatan merupakan ”penyetor” terbesar di Indonesia dari SDA batu bara, dengan dominasi terbesar oleh ”investor?” melalui PT. Adaro Indonesia, PT. Arutmin Indonesia, dan PT. Bahari Cakrawala Sebuku (CBS). Potensi batu bara sebagai SDA yang tidak pulih di Kalimantan Selatan diperkirakan + 3 milyar ton. SDA lainnya adalah biji besi dengan perkiraan deposit sebesar + 12 juta ton. Smentara SDA yang ”masih” bisa pulih adalah kayu yang sementara ini sudah hampir habis terkuras di Kalimantan Selatan.
Dampak yang muncul dari otonomi daerah dengan segala dekonsentrasi kebijakan yang diberikan kewenangan kepada pemerintah daerah (Kepala Daerah dan DPRD) telah banyak mengubah Tata ruang di Kalimantan Selatan.
Bupati/Walikota dan Gubernur di beri kewenangan untuk menerbitkan Kuasa Pertambangan (KP). Akibatnya, ratusan KP telah terbit yang didominasi oleh KP dari Bupati. Celakanya, penerbitan KP olrh Bupati sebagian besar tidak ditembuskan kepada Gubernur dan Menteri ESDM, sehingga tidak menutup kemungkinan akan terjadi tumpang tindih KP, seperti yang terjadi pada PKP2B PT. Borneo Indo Bara di Kabupaten tanah Bumbu ”telah terbit” 37 buah KP di atas lahan yang sama yang diterbitkan oleh Bupati setempat. Otonomi daerah telah menimbulkan keinginan dari pemerintah daerah untuki meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Akibatnya SDA yang terbiasanya terkuras untuk meningkatkan PAD tersebut adalah sector pertambangan sebagai energi yang dibutuhkan oleh berbagai negara dan kepentingan domestic. Meski demikian Kalimantan Selatan sampai saat ini tidak memiliki Peraturan Daerah (Perda) tentang perijinan pertambangan yang sangat diperlukan. Pada sisi lain, pabrik pengolah kayu dari ”kelas kakap” sampai dengan ”kelas teri” telah kekurangan bahan baku kayu. Akibatnya ”semoga dapat dihindari”akan terjadi PHK + 30.000 karyawan pada perusahaan pengelola kayu. Sebuah angka fantastis terjadinya ancaman pengangguran di Kalimantan Selatan.
Selain itu, pengusaha kecil atau menengah dari industri mebel atau furnitue kesulitan memperoleh bahan bakuakibat penertiban ”illegal logging”. Karena SDA tersebut (kayu dan bahan tambang) merupakan ancaman serius bagi & rdquo; keperawanan” hutan di Meratus, maka kita harus mengantisipasi secara dini. Pada hakekatnya kegiatan tambang terdiri atas 3 (tiga) hal yang berurutan:
1. Membabat hutan
2. Menggunduli hutan
3. Penggalian lobang-lobang besar
Sampai saat ini, kita tidak mengetahui cara yang akan dilakukan oleh perusahaan tambang yang beroperasi di Kalimantan Selatan untuk menutup lobang-lobang besar yang menganga. Seharusnya sebelum mengakhiri kegiatan
tambang dengan menutup lobang-lobang besar dan cukup dalam. Kita tidak menginginkan perusahaan tambang di daerah ini pada saat PKP2B-nya berakhir, hanya melakukan ”statement” pengakhiran tambang.
Melalui perusahaan PKP2B kita besyukur telah pula memberikan kontribusi bagi PAD Kalimantan Selatan beserta Kabupaten/Kota melalui royalty 4,5% dari total 13,5% (4,5% untuk daerah juga termasuk membayar pajak 13,5% royalty tersebut) sisanya dibagi kepada daerah penghasil dan Kabupaten/Kota se- Kalimantan Selatan. Namun sangat disayangkan dan bahkan ”mengecewakan”, royalty tersebut tidak mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat di daerah ini. Masyarakat disekitar tambang lebih banyak mendapatkan ”hirupan udara yang berdebu” dan menunggu ”kiriman banjir” setip tahunnya. Hal ini ironis dengan para pemegang saham yang hanya ”ungkang-ungkang kaki” di Jakarta menjual saham yang perusahaannya berada di Kalimantan Selatan atau Kalimantan Timur 3,2 milyar USD setara dengan + Rp 27 Triliun atau setara dengan + 27 tahun APBD Kalimantan Selatan.
(bersambung....Bag 2).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar