20090516

CSR, Antara Tuntutan dan Kebutuhan(1)

CSR, Antara Tuntutan dan Kebutuhan

March 10, 2007 at 4:49 am (Pasar Modal, Ekonomi, dan Bisnis)
Seperti yang telah saya janjikan kemarin pada artikel mengenai Spiritual Bisnis, saya akan menyajikan sedikit penjelasan mengenai CSR. Berikut adalah artikelnya

I. Latar Belakang
Akhir-akhir ini kerapkali terjadi kecelakaan dan musibah yg disebabkan oleh kalangan industri, sehingga menimbulkan stigma industrial di kalangan masyarakat. Sebagai contoh adalah mengenai kasus lumpur panas Porong,-memang hal ini lebih dikarenakan faktor teknis dan human error- yang telah menjadi trigger untuk kembali menyerukan tanggung jawab kalangan pebisnis terhadap lingkungan sekitranya. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan perlunya kesadaran terhadap CSR ( Corporate Social Responsibility ) demi tercapainya sebuah keseimbangan dunia usaha antara pelaku dan masyarakt sekitar.
Semenjak keruntuhan rezim diktatoriat Orde Baru, masyarakt semaikn berani untuk beraspirasi dan mengekspresikan tuntutanny terhadap perkembangan dunia bisnis Indonesia. Masyarakt telah semakin kritis dan mampu melakukan filterisasi terhadap dunia usaha yg tengah berkembang di tengah masyarakt ini. Hal ini menuntut para pelaku bisnis utk menjalankan usahany dengan semakin bertanggungjawab. Pelaku bisnis tidak hanya dituntut utk memperoleh capital gain atau profit dari lapangan usahanya, melainkan mereka juga diminta utk memberikan kontribusi-baik materiil maupun spirituil- kepada masyarakat dan pemerintah.

II. Masalah
CSR yg seharusnya telah terintegrasi dalam hierarki perusahaan sbg strategi dan policy manejemenny, tetap masih dipandang sebelah mata oleh kebanykan pelaku bisnis di Indoneisa. Esensi dan signifikansi dari CSR masih belum dapat terbaca sepenuuhnya oleh pelaku bisnis, sehingga CSR sendiri baru sekedar wacana dan implementasi atas tuntutan masyarakat. Hal ini otomatis akan mengurangi implementasi dari CSR itu sendiri.
CSR pada dasarnya memuiliki kerinduan yg sama; ingin menjalankan bisnis dengan lebih bermartabat, dgn konsekuensi akan mengurangi profit. Pengusaha seharusnya menjalankan bisnis tidak semata untuk profitability melainkan lebih dari itu, sustainability. Nah, `kesadaran utk menjalankan bisnis bukan sekedar utk mencari profit semata, masih minim dimiliki oleh sebagian pelalku bisnis di Indonesia. Padahl, justru faktor kesinambungan tadi yg sangat menetukan masa depan sebuah usaha. Ambil contoh, jika Anda seorang pengelola usaha, maka Anda punya pilihan untuk mendapatkan keuntungan 30% dan 10%. Agar mendapatkan keuntugn 30%, Anda harus rajin tuk melobi para pejabat, menjilat para atasan, mengelabui mitra usaha, dan mengesampingkan social responsibilty. Tetapi, risikonya bisnis Anda paling banter hanya mampu bertahan selama 5 tahun, karena banyaknya masalah yg timbul dari praktik usaha semacam itu. Namun, jika Anda memilih keuntungan yg lebih sedikit, 10% tetapi dengan memperhatikan etika bisnis serta mempunyai social responsibility yg besar, bisnis Anda notabene akan dapat berjalan dengan baik. Peluang untuk hidup dan berkompetisi dalam jangka panjang pun akan lebih terjamin. Toh, masayarakt kita bukanlah masyarakt yg masih dapat dibodohi oleh sisi eksternal perusahaan, masyarakt ini lebih kritis dan peka terhadap kinerja dan kontribusi perusahaan terhadap dunia luar.Masalahnya semakin rumit ketika tetap saja para pelaku dan investor berpijak pada stereotipe bahwa CSR tidak profitable, tidak berdampak langsung terhadap peningkatan pendapatan perusahaan. Mereka cenderung ingin yang instan, langsung mendapat profit besar, tanpa peduli terhadap masalah2 eksternal perusahaan. Selain itu, investor juga terlalu menginginkan realisasi investasi mereka utk sektor riil-dalam artian benar2 berdampak langsung terhadp peningkatan pendapatan-. Padahal, CSR memiliki dimensi yg jauh lebih rumit dan kompleks dari sekedar analisis rug-laba. Pengenalan terhadaap budaya setempat atau analisis terhadap need assesment semestinya menjadi hal krusial yg mesti dilakukan. Poin inilah yg terkadang menyebabkan crash kepentingan, sehingga dunia usaha terkadang merasa program CSR bukanlah kompetisi mereka. Paradigma mengenai kontribusi pajak perusahaan terhadap negara semakin menambah runyam masalah ini. Ada beberapa kalangan yg menilai jika masalah sosial hanya merupakan tanggungjawab negara saja, dunia usaha cukup membayar pajak utk memberikan kontribusi terhadap masyarakt. Pemikiran ini sudah tidak relevan, justru perusahaan yg akan memenagkan kompetisi global adalah perusahaan yg memiliki kemampuan public relation yg baik, salah satunya dapat dicapai dgn mencangkn program CSR yg terintegrasi sebgai standar kebijakan dan strategi bisnis mereka. Lagipula, dengan adanya anggapan bahwa dunia usaha merupakan bagian yg terintegrasi dalam masyarakt, sudah sepatutnya jika dunia usaha berkewajiban utk membantu menyelesaikan masalah sosial yg ada dalam kehidupan bermasyarakat. Selain itu, semestinya dunia usaha tidak mengganggap CSR sebagai kewajiban yg memaksa, sebagai refleksi dari tuntutan masyarakat terhadap dunia usaha yg jika tidak dilakukan akan berdampak adanya anarkisme, vandalisme, maupun bentuk2 kegiatan represif dari masyarakat. Sebalikny, dunia usaha harus menjadikan program CSR sebagai kebutuhan, yg jika tidak dilakukan akan mempengaruhi kinerja perusahaan.

III. Analisis
Isu CSR dapat disimpulkan sebagai parameter kedekatan era kebangkitan masyarakt (civil society). Maka dari itu....
(bersambung bag 2)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar