20090517

Utang Kita Rp 106 Juta Per Kepala? (bag...2)

(sambungan...1)
2. Aspek politis.
Abdurrahaman al-Maliki (1963), dalam Kitab As-Siyâsah al-Iqtishâdiyah
al-Mutslâ/Politik Ekonomi Ideal, hlm. 200-2007), mengungkap lima bahaya
besar utang luar negeri. Pertama: membahayakan eksistensi negara. Pasalnya,
utang adalah metode baru negara-negara kapitalis untuk menjajah suatu
negara. Tidak bisa dipungkiri, dulu Inggris tidak menjajah Mesir, Prancis
tidak menjajah Tunisia, negara-negara Barat tidak meluaskan penguasaannya
atas Khilafah Utsmaniah pada akhir masa kekuasaannya melainkan dengan jalan
utang. Akibat utang yang menumpuk, Khilafah Utsmaniyah yang begitu disegani
dan ditakuti oleh Eropa selama lima abad akhirnya menjadi negara yang lemah
dan tak berdaya.
Kedua: sebelum utang diberikan, negara-negara pemberi utang biasanya
mengirimkan pakar-pakar ekonominya untuk memata-matai rahasia
kekuatan/kelemahan ekonomi negara tersebut dengan dalih bantuan konsultan
teknis atau konsultan ekonomi. Saat ini di Indonesia, misalnya, sejumlah
pakar dan tim pengawas dari IMF telah ditempatkan pada hampir semua lembaga
pemerintah yang terkait dengan isi perjanjian Letter of Intent (LoI) (Roem
Topatimasang, Hutang Itu Hutang, hlm. 9). Ini jelas berbahaya.
Ketiga: membuat negara pengutang tetap miskin karena terus-menerus terjerat
utang yang makin menumpuk dari waktu ke waktu. Kenyataan ini sudah sejak
lama diakui. Pada tanggal 12 Juli 1962, William Douglas, misalnya, salah
seorang hakim Mahkamah Agung Amerika, menyampaikan pidato pada pertemuan
Massoni (Freemansory) di Seattle. Dia menjelaskan, “Banyak negara yang
kondisinya terus bertambah buruk akibat bantuan Amerika yang mereka
terima.” (Al-Maliki, ibid., hlm. 202-203).
Dalam konteks Indonesia, jujur harus diakui, sejak pemerintahan Soekarno
hingga SBY, pengelolaan negeri ini melalui hutang luar negeri tidak pernah
bisa memakmurkan rakyat. Dengan mengikuti standar Bank Dunia, yakni
pendapatan perhari sekitar 2 dolar AS (Rp 20 ribu/hari) maka ada ratusan
juta penduduk miskin di Indonesia saat ini. Ironisnya, mereka juga saat ini
menanggung utang Rp 106 juta perkepala.
Keempat: utang luar negeri pada dasarnya merupakan senjata politik
negara-negara kapitalis kafir Barat terhadap negara-negara lain, yang
kebanyakan merupakan negeri-negeri Muslim. Dokumen-dokumen resmi AS telah
mengungkapkan bahwa tujuan bantuan luar negeri AS adalah untuk mengamankan
kepentingan AS sendiri. Dalam dokumen USAID Strategic Plan for Indonesia
2004-2008, misalnya, disebutkan bahwa lembaga bantuan Amerika Serikat ini
bersama Bank Dunia aktif dalam proyek privatisasi di Indonesia. Bank
Pembangunan Asia (ADB) dalam News Release yang berjudul, Project
Information: State-Owned Enterprise Governance and Privatization Program,
tanggal 4 Desember 2001, juga memberikan pinjaman US$ 400 juta untuk program
privatisasi (penjualan) BUMN di Indonesia.
Sejahtera Tanpa Utang
Sebetulnya banyak cara agar negeri ini bisa makmur dan sejahtera tanpa harus
terjerat utang. Namun, dalam ruang yang terbatas ini, paling tidak ada dua
cara yang bisa ditempuh. Pertama: penguasa negeri ini harus memiliki kemauan
dan keberanian untuk berhenti berutang. Utang jangan lagi dimasukkan sebagai
sumber pendapatan dalam APBN. Penguasa negeri ini juga harus berani
menjadwal kembali pembayaran utang. Anggaran yang ada seharusnya difokuskan
pada pemenuhan berbagai kebutuahan rakyat di dalam negeri. Cicilan utang
harus ditanggguhkan jika memang menimbulkan dharar (bahaya) di dalam negeri.
Bahkan bunganya tidak boleh dibayar karena termasuk riba, sementara riba
termasuk dosa besar. Allah SWT berfirman:
]وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ
الرِّبَا[
Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba (QS al-Baqarah [2]:
275).
Kedua: penguasa negeri ini harus berani mengambil-alih kembali sumber-sumber
kekayaan alam yang selama ini terlanjur diserahkan kepada pihak asing atas
nama program privatisasi. Sebab, jujur harus diakui, bahwa pada saat
Pemerintah tidak memiliki kemampuan untuk membiayai APBN secara layak dan
terjebak utang, swasta dan investor asing justru menikmati pendapatan tinggi
dari sektor-sektor ekonomi yang seharusnya dimiliki bersama oleh masyarakat.
Misal: perusahaan Exxon Mobil, yang menguasai sejumlah tambang migas di
Indonesia, pada tahun 2007 memiliki penghasilan lebih dari 3 kali lipat APBN
Indonesia 2009. Keuntungan bersih Exxon Mobil naik dari 40,6 miliar dolar
pada tahun 2007 menjadi 45,2 miliar dolar tahun 2008 (Investorguide.com,
Exxon Mobil Company Profile). Ini baru di sektor migas.
Di sektor pertambangan, ada PT Freeport, yang menguasai tambang emas di bumi
Papua. Tambang emas di bumi Papua setiap tahun menghasilkan uang sebesar Rp
40 triliun. Sayang, kekayaan tersebut 90%-nya dinikmati perusahaan asing (PT
Freeport) yang sudah lebih dari 40 tahun menguasai tambang ini. Pemerintah
Indonesia hanya mendapatkan royalti dan pajak yang tak seberapa dari
penghasilan PT Freeport yang luar biasa itu (Jatam.org, 30/3/07).
Selain itu, masih banyak sektor lain yang selama ini juga dikuasai asing.


(bersambung...)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar