From: Mohammad Andri Budiman
Date: Sat, 16 May 2009 09:46:15 +0000
Subject: Benarkah Utang Kita Rp 106 Juta Per Kepala?
To:
Rekan-rekan yth,
Sila informasi ini diteliti kembali. Bila benar miris juga -- semoga keluarga besar koruptor dan pihak berkuasa yang wanprestasi terhadap amanah berada di gugus terdepan untuk menggantinya sesuai dengan kerusakan yang mereka perbuat. Terima kasih.
Salam
Andri
-----Original Message-----
From: Basuki Suhardiman
Date: Sat, 16 May 2009 16:25:07
To:
Subject: [Itb] utang kita....106 juta perkepala?! (fwd)
Date: Sat, 16 May 2009 14:09:39 +0700
From: Suryadi Siregar
Dari milist tetangga. 106 juta perkepala...seram..
Salam
Suryadi
_______________________________________________________
ADB, HUTANG, DAN PENJAJAHAN INDONESIA
Saat pembukaan Sidang Tahunan ke-42 Bank Pembangunan Asia (ADB) di Nusa Dua
Bali, Senin (4/5), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyerukan pemulihan
ekonomi dunia dengan melakukan langkah inovatif (baru) dan tegas. Langkah
itu antara lain mendorong lembaga keuangan Internasional menerbitkan produk
pembiayaan baru yang disesuaikan dengan kebutuhan di setiap negara (Kompas,
5/5).
Indonesia, sejak bergabung dengan ADB tahun 1966, telah menerima 297
pinjaman senilai 23,5 miliar dolar AS dan 498 proyek bantuan teknis sebesar
276,6 juta doalar AS. Pada periode 2000-2007, rata-rata pinjaman tahunan ADB
untuk Indonesia tak kurang dari 700 juta dolar AS. Bahkan pada tahun 2008
ADB mengelontorkan utang sebesar 1,085 miliar dolar AS (Republika, 4/5).
Agenda Sidang Tahunan ADB sejatinya melahirkan satu pertanyaan: Apakah
Indonesia bisa sejahtera dengan terus menumpuk utang? Jelas tidak!
Rp 106 Juta Perkepala!
“Tak ada negara yang menjadi sejahtera karena utang,” ujar Gantam
Bangyopadhyay dari Nadi Ghati Morcha, yang bekerja untuk masyarakat adat di
Chhattisgarh, India. Namun, inilah fakta Indonesia. Penguasanya tidak pernah
belajar dari pengalaman. Berutang sudah menjadi bagian dari budaya. Pada
akhir pemerintahan Presiden Soekarno tahun 1966, utang luar negeri Indonesia
2,437 miliar dolar AS. Jumlah ini meningkat 27 kali lipat pada akhir
pemerintahan Presiden Soeharto Mei 1998, dengan nilai 67,329 miliar dolar.
Pada akhir tahun 2003 utang itu menjadi 77,930 miliar dolar AS. Menjelang
akhir tahun 2008—memasuki akhir masa kepemimpinan SBY-JK—utang Indonesia
sudah mencapai 2.335,8 miliar dolar. Selain karena penambahan utang baru,
hal itu terjadi sebagai dampak langsung dari terpuruknya nilai tukar rupiah
terhadap tiga mata asing utama: Yen Jepang, Dolar AS dan Euro. Padahal bulan
Juni 2008 utang luar negeri Indonesia masih 1,780 miliar dolar. (Kompas,
24/11/2008).
Konsekuensinya, cicilan utang yang harus dibayar Indonesia tahun 2009 adalah
sebesar 22 miliar dolar, sama dengan Rp 250 triliun. Cicilan utang
Pemerintah 9 miliar dolar dan cicilan utang swasta 13 miliar dolar. Di
antara utang Pemerintah itu, uang luar negeri yang jatuh tempo pada 2009
senilai Rp 59 triliun (Kompas, 24/11/2008).
Cicilan tahun 2009 sebesar itu, kalau kita bagi dengan jumlah penduduk
Indonesia (± 230 juta jiwa), sama dengan Rp 1.086.000/jiwa. Jumlah ini
masih lebih besar dibandingkan dengan UMR DKI Jakarta sebesar Rp 1.069.865.
Kemudian, andai Indonesia mau melunasi seluruh utangnya, maka penduduk
negeri ini masing-masing harus membayar Rp 106 juta perkepala!
Bahaya Utang
Beberapa bahaya yang tampak dari kebijakan Pemerintah Indonesia dengan terus
menumpuk utang luar negeri bisa dilihat dari dua aspek: ekonomi dan politik.
1. Aspek ekonomi.
Pertama: cicilan bunga utang yang makin mencekik. Apalagi ADB menolak untuk
menurunkan bunga pinjaman (saat ini sekitar 1% pertahun dengan masa tenggang
8 tahun dan 1,5% setelah masa tenggang berakhir).
Kedua: hilangnya kemandirian ekonomi. Sejak ekonomi Indonesia berada dalam
pengawasan IMF, Indonesia ditekan untuk melakukan reformasi
ekonomi—program penyesuaian struktural—yang didasarkan pada
Kapitalisme-Neoliberal. Reformasi tersebut meliputi: (1) campur-tangan
Pemerintah harus dihilangkan; (2) penyerahan perekonomian Indonesia kepada
swasta (swastanisasi) seluas-luasnya; (3) liberalisasi seluruh kegiatan
ekonomi dengan menghilangkan segala bentuk proteksi dan subsidi; (4)
memperbesar dan memperlancar arus masuk modal asing dengan fasilitas yang
lebih besar (Sritua Arief, 2001).
Di bawah kontrol IMF, Indonesia dipaksa mengetatkan anggaran dengan
pengurangan dan penghapusan subsidi, menaikkan harga barang-barang pokok dan
pelayanan publik, meningkatkan penerimaan sektor pajak dan penjualan
aset-aset negara dengan cara memprivatisasi BUMN.
Pada tahun 1998 saja Pemerintah telah menjual 14% saham PT Semen Gresik
kepada perusahaan asing, Cemex; 9,62% saham PT Telkom; 51% saham PT Pelindo
II kepada investor Hongkong; dan 49% saham PT Pelindo III kepada investor
Australia. Tahun 2001 Pemerintah lagi-lagi menjual 9,2% saham Kimia Farma,
19,8% saham Indofarma, 30% saham Socufindo dan 11,9% saham PT Telkom.
Pada tahun 2007, Wapres Jusuf Kalla mengemukakan bahwa dari 135 BUMN yang
dimiliki Pemerintah, jumlahnya akan diciutkan menjadi 69 di tahun 2009, dan
25 BUMN pada tahun 2015 (Antara, 19/2/2007). Artinya, sebagian besar BUMN
itu bakal dijual ke pihak swata/asing.
(bersambung...)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar