20100306

Mereduksi Potensi Konflik di Bisnis Keluarga


Thursday, March 4th, 2010
oleh : Sudarmadi

Banyak bisnis keluarga hancur gara-gara konflik internal. Butuh kiat-kiat tertentu agar perusahaan bisa membesar dan kalis dari konflik. Apa saja?

Susi Ivana (31 tahun) hingga kini masih trauma manakala melihat dua orang perang mulut disertai caci-maki dan teriakan keras. Maklum, perempuan lembut yang berprofesi sebagai sekretaris direksi sebuah perusahaan keluarga di bidang produk konsumer ini selalu teringat kejadian yang dialaminya di suatu sore, lima tahun lalu. Dia menjadi saksi perang mulut dua bosnya yang masih anggota keluarga pemilik perusahaan. Penyebabnya: saling curiga soal penggunaan uang perusahaan.

Dua bosnya itu adu mulut bahkan hingga pukul-pukulan. Yang membuat Susi trauma, ada salah satu di antara dua bosnya itu yang kemudian mengacung-acungkan pistol dan sempat dua kali keluar peluru dan ledakan. Meski peluru itu hanya diarahkan ke atap ruangan, kejadian itu telah membuat Susi panik dan traumatis. Jalannya perusahaan menjadi kacau. Tak ingin lagi bekerja di perusahaan yang masih kental campur-tangan keluarga pemilik, tiga bulan setelah kejadian itu Susi mengundurkan diri dan pindah ke sebuah perusahaan PMA.

Apa yang dialami Susi bukan perkara asing di ranah bisnis. Konflik antaranggota keluarga pemilik memang acapkali terjadi di perusahaan-perusahaan yang masih kental aroma family business-nya. Apalagi bila generasi pendiri (pertama) sudah meningggal dunia, potensi konflik begitu terbuka.

Banyak hal bisa jadi pemicu. Mulai dari meributkan pembagian laba usaha, rebutan jabatan strategis, perbedaan pandangan soal strategi dan arah bisnis, hingga ribut karena masuknya pihak ketiga, entah itu campur tangan menantu atau besan. Dan yang paling tragis, bila konflik itu berujung pada dijualnya perusahaan ke pihak lain agar uang hasil penjualan bisa dibagi-bagi. Solusi yang sebenarnya sangat sesaat. Bukan win-win, tetapi justru lost-lost.

Karena itu, amatlah menarik belajar dari perusahaan keluarga yang bisa terus berkembang dan rukun meski telah beralih generasi seperti PT Jamu Jago Semarang, PT Sariayu Martha Tilaar, Garudafood (Grup Tudung), Grup Risjadson dan PT Sido Muncul. Mereka bisa membuktikan, dengan keharmonisan hubungan di antara semua anggota keluarga pemilik, bisnis bisa berkembang dengan arah positif. Tentu saja, keharmonisan hubungan itu tidak datang sendiri, melainkan mesti diciptakan, baik melalui sistem maupun budaya. Dan soal kiat-kiat seperti ini, tiap perusahaan punya cara berbeda.

Martha Tilaar, Presdir Sariayu Martha Tilaar Group, juga menyadari bahwa potensi konflik akan selalu terjadi dan tidak mungkin dihindari. “Tapi semua konflik selalu kami bicarakan dan semua keputusan harus bertujuan harmonisasi keluarga serta mengutamakan kepentingan bersama. Pertimbangannya harus demi kemajuan perusahaan karena kami pun bertanggung jawab atas hidup para karyawan,” papar Martha.

Dia melihat keterbukaan dan sikap saling memercayai merupakan elemen paling penting untuk mereduksi kemungkinan munculnya konflik. “Keluarga kami cukup terbuka dan saling percaya satu sama lain. Misalnya, saya sangat percaya kepada adik saya yang menjaga keuangan perusahaan. Tapi beliau juga memercayai saya untuk bermimpi dan mencipta agar perusahaan ini terus berkembang,” Martha menjelaskan.

Tak hanya itu. Untuk meminimalisasi konflik, juga harus ada kesepakatan dalam keluarga yang menyatakan hak, kewajiban dan peran masing-masing anggota keluarga karena hal itu akan menjadi pedoman dan etika bersikap. Jadi, di luar dari sistem dan kebijakan manajemen yang ditetapkan direksi perusahaan, keluarga juga membuat aturan yang hanya mengikat anggota keluarga. “Peraturan-peraturan ini,“ kata Martha, “kami buat berdasarkan musyawarah dan profesional.”

Yang juga tak bisa disepelekan, menurut Martha, “Semua harus dilakukan secara tertulis. Ada bukti hitam-putih yang mempunyai kekuatan hukum. Meskipun masih perusahaan keluarga, tidak bisa mentang-mentang pemilik ataupun anak berlaku seenaknya.” Praktik seperti itu sudah dilakukan sejak awal dan terus berlaku. “Tanpa aturan main yang jelas, banyak perusahaan keluarga akan terjerat konflik keluarga atau keluarga vs. manajemen,” ia mewanti-wanti.

Bila diamati, profesionalisasi bisnis keluarga belakangan juga menjadi tool yang banyak dipakai sejumlah perusahaan keluarga untuk meminimalkan kemungkinan munculnya konflik. Termasuk dengan mengembangkan model management in absentia – pemegang saham tidak terlibat langsung di operasional bisnis. Keluarga pemilik Grup Tudung (Garudafood) pun mengembangkan jurus itu. Seperti dijelaskan Sudhamek A.W.S., CEO Grup Tudung, pihaknya mengusahakan agar yang tampil di manajemen operasional bisnis dari kalangan profesional, sedangkan pemegang saham di komisaris saja.

Di sisi lain Sudhamek juga mengakui meraih prestasi bisnis dengan latar belakang family business memang tidak mudah. Pasti mudah terjadi konflik bila tidak dikelola dengan baik. Hal itu dia rasakan berdasarkan pengalamannya di Garudafood yang diwariskan orang tuanya, Darmo Putro. Bagaimana tidak, orang tuanya yang berbisnis kacang dan tepung tapioka itu meninggalkan 11 anak – terdiri dari tujuh laki-laki dan empat perempuan, Sudhamek adalah anak bungsu – yang masing-masing sudah punya keturunan. Di sini butuh keterampilan dan seni mengelolanya agar keluarga tetap harmonis dan bisnis terus bisa melaju.

Contohnya, ketika Grup Tudung makin membesar, mulai ada persoalan para profesional nonkeluarga yang kariernya mentok karena terganjal founding shareholder. Di sini ada tarik-menarik dua kepentingan. Di satu sisi perusahaan harus memberi tempat kepada profesional yang kinerjanya sangat bagus karena merekalah roda kemajuan perusahaan. Namun, di sisi lain juga tak bisa menggusur begitu saja posisi-posisi kunci yang masih diduduki kakak-kakak Sudhamek karena bagaimanapun mereka juga pemegang saham dan masih anggota keluarga.

Dalam kondisi tersebut, Sudhamek yang didapuk menjadi pemimpin bagi keluarganya mencoba meyakinkan pelan-pelan dengan pendekatan hati ke saudara-saudaranya. “Pada saat itu, saya berbicara pada kakak-kakak bahwa pada tingkatan tertentu mereka tidak lagi bisa mengimbangi keputusan perusahaan yang lebih besar. Mereka juga menyadari hal ini,” ujarnya. Sebagai manusia, pasti ada perasaan tertentu ketika harus kehilangan posisi, tetapi untung kakak-kakaknya legowo. “Kalau ada perasaan tertentu, itu manusiawi. Shareholder itu kan tidak hanya soal uang, tetapi juga power.”

Hanya saja, Sudhamek memang tidak serta-merta menghilangkan posisi kakak-kakaknya, melainkan dengan strategi stepping to side. Minggir, tidak langsung turun. “Yang di atas didorong ke kanan agar yang di bawah bisa naik,” mantan Presiden Direktur PT Trias Sentosa Tbk. ini mendeskrispsikan. Pola itu perlahan terus digulirkan hingga mereka tidak aktif lagi. Praktis, kini kakak-kakaknya hanya sebagai shareholder atau komisaris. Adapun yang masih aktif sebagai direktur, selain Sudhamek, hanya kakak perempuannya yang ke-10, sebagai Direktur R&D. Itu pun karena latar belakang profesionalnya: pernah menjadi kepala laboratorium sebuah perusahaan dan pernah juga di Gudang Garam.

“Izin memimpin perusahaan saya kantongi, tapi tidak asal saya pakai. Kami pakai management by heart dan dengan bahasa hati, sehingga mereka mengerti dan tidak khawatir dengan yang kami lakukan,” ungkap pria yang juga pernah menjadi orang kepercayaan Grup Djuhar itu. “Orang kalau di-wong-kan, akan ngerti. Kakak saya orang yang rasional. Mereka juga melihat bahwa saya tidak punya ambisi menguasai perusahaan seluruhnya.”

Ibrahim Risjad, konglomerat papan atas yang dulu bersama Gang of Four (Liem Sioe Liong, Sudwikatmono, Djuhar Sutanto dan Ibrahim Risjad) yang punya 300-an perusahaan, memiliki cara lain. Dia mencoba meminimalisasi konflik dengan memberi mainan berbeda-beda ke masing-masing anaknya. Logikanya simpel, kalau sudah disibukkan dengan urusannya sendiri, orang cenderung tak akan mengganggu saudaranya, tidak usil.

Sebagaimana dijelaskan Amirsyah Risjad, putra tertua Ibrahim Risjad yang juga Vice Chairman Grup Risjadson, dia dan saudaranya diberi peran sendiri-sendiri di grup bisnis milik ayahnya itu. Amirsyah, sebagai anak tertua, ditugasi sebagai vice chairman di holding company. Lalu, adiknya yang kedua, Rizal Risjad, lebih banyak ditugasi mengurus bisnis tambang (Berau Coal, dll.).

Anak ketiga, Dina Risjad, mengembangkan bisnis properti sendiri. Lalu, Deddy M. Risjad, bertanggung jawab mengelola bisnis perdagangan. “Semuanya ada 7 anak. Anak kelima yang mengelola keuangan. Sedangkan yang dua masih sekolah di Amerika,” ujar Amirsyah beberapa waktu lalu. Dengan cara diberi peran dan mainan sendiri-sendiri, mereka akan fokus pada tanggung jawab masing-masing. Grup Risjadson sendiri kini fokus ke tiga pilar bisnis: makanan, energi dan pembangkit listrik.

Rupanya, jurus keluarga Risjadson setali tiga uang dengan yang dilakukan pemilik Grup Sido Muncul. Dijelaskan Irwan Hidayat, Presdir PT Sido Muncul, pihaknya pun terus mencoba meredukasi kemungkinan konflik, antara lain dengan memberikan mainan sendiri-sendiri. Maklum, Irwan dan keempat adiknya juga punya putra-putri yang telah memasuki dunia kerja. Sekarang dari lima bersaudara itu, telah lahir 13 cucu atau generasi ke-4 — tak kurang dari 9 di antaranya telah bekerja. Ke-13 orang itu memiliki porsi saham yang sama di Sido Muncul.

Irwan dan saudara-saudaranya berusaha mengembangkan perusahaan sebaik mungkin agar memiliki banyak anak usaha. Tujuannya, agar semua anak dan keponakannya dapat menjadi “komandan” dalam perusahaan. “Kalau perusahaan cuma satu dan yang punya ada 13 orang ya bisa berantem. Jadi, kami kembangkan usahanya,” ujar Irwan. Tak mengherankan, di Sido Muncul sudah muncul banyak anak usaha, mulai dari perusahaan distribusi di sejumlah kota besar, bisnis MLM, hingga hotel. “Pokoknya, kami kembangkan banyak usaha agar satu usaha bisa dikelola 1-2 orang,” Irwan menjelaskan resepnya.

Namun, Irwan menegaskan resep terpenting dalam mencegah konflik hanyalah dengan membangun kerukunan keluarga. “Yang penting, kami sekeluarga ini akur. Saya sampai pernah bilang, daripada perusahaan ini jadi besar tapi dalam keluarga saling bermusuhan, lebih baik segini saja tapi keluarga akur,” katanya menegaskan. Dia menilai soal kerukunan ini dipengaruhi orang tuanya. Ayah-ibunya selalu mencontohkan sikap saling menyayangi dan menjaga hubungan baik dengan saudaranya. Ini pula yang sekarang selalu diterapkan Irwan dalam keluarganya. “Kalau saya dan adik-adik saya bertengkar, nanti anak-anak kami juga begitu.”

Selain itu, bila ada masalah dengan keponakan-keponakannya, “Saya akan memilih menasihati anak saya saja. Tidak mungkin saya menasihati pihak yang berbeda pendapat. Jadi, masing-masing jangan memarahi anak orang lain.” Irwan juga percaya bahwa kerukunan dan kasih sayang itu datang dari Tuhan. “Menyayangi orang itu tidak perlu belajar. Kita doa dan minta saja pada Tuhan,” katanya. Yang pasti, karena sangat peduli pada kerukunan itu pula, hotel yang akan dibangunnya dinamai Tentrem.

Pendapat Irwan paralel dengan kondisi yang terjadi di Garudafood. Sudhamek mengakui pula, keutuhan keluarga dalam menjalankan bisnis tidak terlepas dari nilai yang telah ditanamkan orang tuanya. “Karakter keluarga sifatnya dominan, keras, tetapi menjunjung nilai persatuan. Ada perbedaan pendapat, itu biasa, tetapi rukun kembali. Saya relatif mudah karena punya saudara yang seperti itu.”

Dalam hal ini aspek-aspek spritual dan sosial juga menjadi hal yang penting, jangan hanya mengejar sisi materiil (duniawi). “Kami selalu diajarkan kunci sukses itu lahir dari kejujuran, keuletan, ketekuan yang diiringi dengan doa. Nilai yang diajarkan pendiri, kami hidup di dunia harus berlandaskan spiritualitas,” ujarnya. Nilai-nilai itu pula yang terus membingkai 11 anggota keluarga pemilik Grup Tudung dan anak-cucunya sehingga mereka tetap rukun – walaupun agama dan kepercayaan yang dianut berbeda-beda.

PT Jamu Jago Semarang juga sangat layak dijadikan tempat belajar bagaimana membesarkan bisnis keluarga nir konflik . Perusahaan yang dirintis T.K. Suprana ini sekarang dikelola generasi keempat, anak dan para keponakan Jaya Suprana. “Kami eksis dan tak ada konflik karena falsafah Jawa yang kami anut. Falsafah itu bukan saja menjadi basic value perusahaan Jamu Jago, tetapi juga menjadi basic value kami dalam berperilaku dalam kehidupan pribadi dan masyarakat,” ujar Jaya yang juga pendiri Musem Rekor Indonesia-Dunia (MURI).

Contohnya, keluarga pemilik Jamu Jago yang begitu mementingkan persatuan anggota keluarga itu juga tampak dari sikapnya yang membenarkan prinsip Jawa “Mangan ora mangan sing penting kumpul”. Makan atau tidak makan yang penting bisa kumpul rukun. “Tidak ada cerita perebutan kekuasaan di antara kami. Sudah ditekankan oleh leluhur kami bahwa kekuasaan itu menjadi sebuah beban yang punya tanggung jawab tinggi,” kata Jaya. Keluarga Jamu Jago pun yakin kebenaran falsafah “Rukun agawe santoso” (rukun membuat kuat dan hebat). Prinsip itu sebenarnya mirip dengan konsep yang diimplementasi Google, “Don’t be evil!”. Kalau ingin maju, jangan bersikap jahat atau mencurangi. Sesuai dengan hukum timbal-balik, siapa yang berbuat jahat akan menuai badai.

Yang juga menarik, masih soal bagaimana menjaga kerukunan keluarga Jamu Jago, ada peraturan tak tertulis yang dijalankan dari genenerasi pertama hingga sekarang. “Agar tidak dikacaukan pihak ketiga, ada peraturan tak tertulis tapi berlaku mutlak, bahwa menantu laki-laki atau perempuan tak boleh ikut-campur urusan perusahaan. Para menantu harus berada di luar garis. Ini tak bisa ditawar,” ungkap Jaya beberapa waktu silam.

Jaya menjelaskan, seorang pria atau wanita yang bakal menjadi anggota keluarga Jamu Jago biasanya akan sulit diterima seluruh anggota keluarga kalau di awal sudah menunjukkan niat turut-campur urusan perusahaan, apa pun alasannya. Tak hanya itu, juga sudah ada kesepakatan di antara keluarga generasi ke-3 bahwa yang boleh menjadi pemilik saham hanya keturunan langsung dari ke-4 bersaudara anak-anak T.K. Suprana. Yang lain tidak boleh. Ini bagian dari cara menghindari konflik sejak awal.

Dalam hal ini, fungsi musyawarah dalam keluarga untuk menghasilkan kesepakatan bersama merupakan hal yang kelewat penting. Terutama untuk merumuskan rambu-rambu yang bisa mencegah benturan kepentingan dan konflik internal. Misalnnya, kesepakatan dalam hal pembagian keuntungan dan risiko kerugian, juga aturan bila ada anggota keluarga yang berkarier di perusahaan keluarga dan kalau ada anggota keluarga yang punya bisnis sendiri.

Di Sariayu Martha Tilaar, contohnya, ada kesepakatan keluarga bahwa perusahaan akan fokus pada industri kecantikan dan fashion. Sebab itu, semua usaha yang dilakukan pribadi-pribadi dalam keluarga tidak boleh bertentangan dengan bisnis utama perusahaan tadi. Di luar bisnis utama ini, masing-masing boleh mengembangkan bisnis pribadi dengan tanggung jawab masing-masing. Lalu, soal anggota keluarga yang ingin berkarier, di antara keluarga pemegang saham juga sudah sepakat bahwa generasi kedua diwajibkan untuk memulai dari bawah dan belajar dari para profesional. Penilaian kerjanya pun didasarkan pada prestasi mereka selama berkarya, bukan pada senioritas mereka dalam keluarga.

Di Grup Tudung jurus itu juga disepakati. Sudhamek menjelaskan, jika generasi penerus ingin masuk ke perusahaan keluarga, tetap ada aturannya. “Meskipun mereka mayoritas lulusan luar negeri dan lulusan S-2, mereka harus punya pengalaman kerja minimal tiga tahun di perusahaan lain,” dia menjelaskan aturan keluarganya. Jadi, bisa dibilang lebih berat dari profesional lainnya. “Dengan bekerja di tempat lain, mereka akan bisa mempersiapkan diri menjadi profesional yang baik, tidak sok jadi bos.”

Memang, tak bisa dielakkan, ketika bisnis keluarga terus membesar, mutlak butuh forum yang bisa mewadahi seluruh anggota keluarga pemegang saham agar terus selalu rukun sehingga ketika ada masalah kecil, bisa terdeteksi dan terselesaikan, tak sampai membesar. Di Sariayu Martha Tilaar, contohnya, ada mekanisme rapat bulanan untuk mengetahui perkembangan dan membahas secara musyawarah masalah-masalah yang timbul. Di Garudafood pun demikian. Sejak awal 2009 mulai dibentuk family council, wadah untuk menampung shareholder dari keluarga untuk bisa diskusi sekaligus memonitor perusahaan dari waktu ke waktu. Ke depan, family council ini juga akan dibuat untuk generasi ke-3 (anak dan keponakan Sudhamek yang sekarang berjumlah 24 orang), tetapi forumnya terpisah.

Ya, konflik keluarga memang harus dihindari. Memang, di semua perusahaan keluarga umumnya yang membesarkan bisnisnya adalah shareholder yang notabene anggota keluarga. Namun juga mesti dicatat, biasanya yang menghancurkan adalah keluarga pula. Terutama, karena adanya konflik yang merusak. Maka, tak salah memegang prinsip seperti diyakni Irwan Hidayat: “Jika saudara rukun, tanah akan jadi emas”. Anda pun pasti setuju!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar